Jagad Kompasiana sedang ingar bingar. Merayakan memasuki tahun ke 15 kiprahnya. Limbuk ikut ngecipris. Semoga lestari Kompasiana, ladang penulisan bersama.
Ketika menggunakan fitur pencarian di Kompasiana dengan kata Limbuk, muncul delapan (8) artikel dari kebun simbok. Lah beneran kan kalau Limbuk itu kembaran simbok kebun. Sosok rewang atau pembantu di kaputren (tempat para puteri).
Masih ngeles, bukan sekedar rewang loh, ini semacam orang dalam alias warga. Berada di dekat pusaran para puteri, dewi, dan ksatria. Terimbas pengaruh dari para pandita dan begawan. Khususnya di padepokan penulis Kompasiana.
Saat memilih kosakata ngecipris, agak tergoda dengan ngecuprus atau ngetuprus. Sering muncul dalam bahasa percakapan. Rasanya lebih seru. Mendapat teguran dari simbok Cangik, pilih yang pijakannya lebih mapan.
Kosakata ngecipris tertera dalam Bausastra (Kamus Bahasa Jawa) oleh Tim Penyusun Balau Bahasa Yogyakarta. Terbitan Kanisius tahun 2002, tertulis pada halaman 536. Ngecipris dimaknai bicara tanpa sela. Kadang merujuk pada tanpa ujung pangkal.
Benarkah Limbuk ngecipris di Kompasiana? Bila dimaknai menulis itu berbicara melalui aksara, artikel senada dengan pembicaraan. Menulis tanpa sela sangat jauh dari keragaan Limbuk. Menulis saat eling atau sadar akan hakekat berolah kata.
Bagaimana dengan ngecipris, ujaran tanpa ujung pangkal? Senada nih dengan menulis tanpa pola ajeg baik dari waktu pun sistematika isi. Lah kalau ini rasanya pas, Limbuk ngecipris di Kompasiana.
Sungguh bersyukur, Limbuk diizinkan berada di lintasan jagad Kompasiana. Nyantrik di padepokan ageng Kompasiana. Selalu berkesempatan menikmati babaran pemikiran para begawan.
Aneka kesempatan para begawan saling medar ilmu kanuragan. Ajian sakti kepenulisan terlihat dari aneka sajian. Memberi kesempatan saling menakar dan belajar. Limbuk dan para kawan cantrik kegirangan menyesapnya. Walau kecakapan menulis koq ya hampir tidak meningkat.
Kesempatan lain aneka gelar dari para kesatria pilihan. Jurus akrobatik menulis dengan lincah, indah dan satsetbatbet menuju sasaran dengan apik. Nah ini membuat Limbuk ndomblong (eh memandang dengan takjub). Duh ilmu belum sampai, merangkak selangkah, terjengkang mundur dua langkah.