Gastrodiplomasi melalui Songgobuwono pun kue Clorot
Menyimak kemelimpahan sajian kuliner, batin simbok berkelana pada gastronomi. Lah apa sih bedanya, kan saling menyoal makanan.
Kuliner menekankan pada proses masak memasak dan seni menikmati makanan. Gastronomi mempelajari dimensi sejarah, filosofi, dan latar budaya dari makanan (media Indonesia.com)
Muatan dimensi sejarah, filosofi, dan budaya menempatkan gastronomi pada lintasan promosi budaya. Keberadaan elemen budaya membawa gastronomi sebagai komponen klaster diplomasi kebudayaan. Sehingga dikenal istilah gastrodiplomasi.
Mari ikuti olah mata simbok di pasar kangen. Terkesima di beberapa stan yang menjajakan suguhan Songgobuwono. Wujudnya adalah kulit kue soes yang diisi telor, cacahan daging, daun slada dan acar. Sekilas mirip hamburger.
Menilik sejarahnya, makanan ini merupakan akulturasi budaya Jawa dan Eropa. Bermula pada masa pemerintahan Hamengku Buwono VII dan dikembangkan pada masa Hamengku Buwono VIII. Simbol adaptasi politik kerajaan pada masa pemerintahan Belanda.
Filosofi luhur dari makanan ini. Songgobuwono, songgo atau sangga yaitu menyangga dan buwono atau buwana yaitu dunia. Songgobuwono bermakna penyangga kehidupan alam semesta, suatu pengakuan atas pemeliharaan Illahi.
Kulit soes sebagai perlambang bumi, daging adalah penduduk bumi, telur sebagai gunung. Selada perlambang tumbuhan sumber kehidupan. Acar perlambang bintang di langit.
Kudapan ini semula hanya menjadi penganan pyayi keraton. Kini marak disantap oleh aneka kalangan. Tidak hanya sekedar menikmati kuliner namun menghayati gastronomi. Bahkan bagian dari gastrodiplomasi.