Bermula dari Inaq (Ibu) Esun seorang pedagang yang sering membawa bekal masakan sendiri. Nasi bungkus dengan lauk sederhana dan sambal khas pedasnya. Lah ternyata banyak penggemarnya.
Pertambahan usia mengurangi kegesitan beliau berdagang di pasar. Kemudian beliau membuka warung makan sederhana di rumahnya di desa Puyung, Lombok Tengah. Sematan kata balap memiliki kisah tersendiri.
Kerabat beliau, sumber lain menyebutnya cucu adalah pembalap. Kala merayakan kemenangan diajaknya teman satu geng makan di gerai Inaq Esun. Jadilah sebutan Nasi Balap Puyung Inaq Esun.
Nama dan racikan kuliner pembawa rezeki penyalur berkat. Kini selain di tempat aslinya, sajian ini dapat dinikmati di banyak tempat. Termasuk di bandara serasa suguhan selamat datang dan selamat jalan. Memikat penikmatnya mematerikan rasa pedasnya.
Sajian ini tidak hanya diwariskan kepada keturunan Inaq Esun. Diteruskan kepada masyarakat Lombok secara umum. Menjadi bagian kuliner identitas, duta budaya pewarta Lombok.
Pengunjung Lombok, mari jangan lewatkan menjajal Nasi Balap Puyung. Mengabadikan rasa Lombok secara nyata. Bila terdengar seruan aduh biyung, jangan katakan simbok kebun terlupa mengingatkan.Â
Kini di Kawasan Mandalika terdapat Sirkuit Internasional Pertamina Mandalika. Adakah jejak pembalap lokal keturunan Inaq Esun di gelanggang tersebut? Toh sesama Kawasan Kabupaten Lombok Tengah.
Pastinya kuliner Nasi Balap Puyung Inaq Esun menjadi elemen dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Pengembangan kawasan yang menempatkan masyarakat dan budaya lokal sebagai sentra layanan. Makin kayungyun Nasi Balap Puyung Kuliner Lombok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H