Sahabat pembaca Kompasiana, seberapa ceriwiskah Anda? Hehe, bisa jadi tidak suka dikatakan ceriwis ya. Banyak yang memadankan antara ceriwis dan cerewet. Padahal beda sekali loh. Ceriwis juga bagian dari menjaga kesehatan mental.
Antara ceriwis dan cerewet
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ceriwis: sangat suka bercakap-cakap; banyak omong. Teman di sekitarnya bisa jadi akan tutup telinga seraya mendesah berisik banget sih. Sisi lain teman ceriwis juga menghidupkan suasana.
Kosakata yang sering disandingkan adalah cerewet. Ini arti cerewet menurut KBBI: suka mencela (mengomel, mengata-ngatai, dan sebagainya); banyak mulut; nyinyir; bawel. Waduh banyak nian atribut negatif penyertanya.
Nah kan beda sekali karakter ceriwis dan cerewet. Ceriwis dan cerewet muncul dalam perbincangan oral. Berbicara secara aktif. Tidak semua orang suka dan fasih dalam berbicara. Banyak orang anteng (pendiam) yang ceriwis.
Penulis atau orang yang suka menulis merangkum kemampuan menyampaikan sesuatu secara tertulis. Ada yang ganda, fasih menulis pun berbicara. Beberapa senyap dalam pembicaraan riuh dalam paparan tulisan.
Kalau begitu, ceriwis dan cerewet juga menghampiri penulis kah? Haha bisa diteruskan dalam diskusi. Penulis yang ceriwis, "sangat suka bercakap-cakap dan banyak omong" melalui tulisannya. Tidak selalu berkonotasi negatif. Minimal menghibur dan menyukakan diri sendiri.
Ceriwis dan kesehatan mentalÂ
Kesehatan mental (mental health) tidak kalah penting dibanding kesehatan fisik. Seseorang menurut Badan Kesekatan Dunia WHO disebut sehat secara mental, apabila ia mampu menyadari kemampuannya, menangani stres dalam kehidupan sehari-harinya, bekerja dengan produktif, serta berkontribusi untuk lingkungan sekitarnya (alodokter.com).
Aneka cara menjaga kesehatan mental diracik dan dipublikasikan banyak sumber. Diantaranya adalah menata bicara, menyelaraskan isi hati pikiran dan pengungkapan. Penataan bicara secara aktif dan pasif semisal menulis.