Cukup sulit memahaminya dari kaca mata dan pola pikir lintas budaya. Berdiam diri sejenak. Terasa kesamaan pola dan beririsan dengan falsafah budaya Jawa yang saya kenal. Nguwongke, Urip kudu urup. Hidup untuk menghidupi.
Terjadi jalinan batin antar falsafah budaya antar kelokalan. Manusia hidup bermakna menghidupi diri sendiri dan sesama merambah ke alam sekitarnya. Ada kemandirian, terangkum sinergitas dan penghargaan atas sesama.
Filosofi Sitou Timou Tumou Tou, menghidupi dan dihidupi oleh masyarakat Sulawesi Utara. Menjadikannya tegak bermartabat. Sekaligus memiliki empati tinggi terhadap sesama dan lingkungannya.
Meyakini bahwa nilai luhur falsafah ini juga hidup pada budaya lokal di daerah lain. Disampaikan dengan ragam yang berbeda. Selalu ada nilai lokal yang bersifat global universal.
Menghadirkan rasa hangat saat membacanya di bandara internasional Sam Ratulangi. Kehangatan dan keramahan sapaan warga Manado meluas Sulawesi Utara. Menyambut tetamu sebagai bagian dari persaudaraan.
Wisatawan globalÂ
Sulawesi Utara dikaruniai alam dengan keindahan luar biasa. Falsafah budaya Sulawesi Utara membuatnya suka berbagi keelokan alam dengan sesama. Menyambut wisatawan lokal nasional hingga mancanegara.
Paduan antara keterbukaan menyambut tetamu dengan atribut negara asal. Tetap menjunjung tinggi atribut kelokalan melalui ornament interior. Pun falsafah lokal yang diterakan di bandara internasional.
Terpikat dengan keberadaan Taman Anggrek di bandara internasional Sam Ratulangi dengan aksara mancanegara. Mencoba menelisik karakteristik wisatawan yang hadir di Sulawesi Utara.
Posisi geografis Manado menjadikannya gerbang utara dari Indonesia. Sejenak melongok Badan Pusat Statistik Kota Manado, khususnya pariwisata. Geliat kedatangan wisata mancanegara kian terasa. Berikut abstraksinya.