Pengingat bahwa kekayaan hasil bumi ibu pertiwi rupa sarana berkat bangsa. Gerai kopi kini merambah di setiap pengkolan sekitar kita. Ngopi menjadi bagian mulai dari gaya hingga pola hidup.
Rajutan rindu kuliner gaya Ngayogyakarta. Nah yang ini memenuhi rasa penasaran yang lama terpendam. Saoto bathok Mbah Katro di sebelah utara Candi Sambisari santer menggoda.
Dijabani menjadi bagian insan penasaran merunut saoto di tempat terpencil yang ramai pembelinya. Saoto sebutan yang akrab dengan masa kecil, kini lebih sering mendengar sebutan soto. Warung saoto dikitari hamparan sawah.
Sebathok saoto bening memiliki kekuatan memanggil pembeli mencicipnya. Racikan sederhana dengan pilihan lauk tidak melimpah. Berbeda dengan warung soto biasanya dimana lauk tertata melimpah di meja. Hantaran akan sesuai dengan pesanan.
Menikmati sajian musik secara langsung ditingkah suasana alami di warung tanpa dinding samping. Melengkapi kenangan, saat membayar tetiba bres hujan tercurah sangat lebat dibarengi angin kencang.
Seolah tersirap daya alam, semua menyelamatkan diri ke bagian yang lebih aman dari tempias hujan. Air dengan ramah menyapa lantai tanah. Warung saoto bathok mbak Katro (beneran mbah Katro bukan typo dari mbah Karto).
Apakah menyurutkan minat pengunjung? Tidak loh di tengah hujan deras, rombongan demi himpunan pengunjung memasuki warung. Meneguhkan pesona kuliner bernuansa bathok.
Merangkai kisah alit dari 3 wilayah dalam rupa kawa daun, kopi bathok dan saoto bathok. Terlihat jalinan budaya makan Nusantara. Menggunakan bahan alam sebagai perangkat makan dan minum.
Bathok tempurung kelapa merupa dalam mangkok dan cangkir. Melengkapi siwur dan irus. Keterampilan dasar manusia merakit sumberdaya alam sekitar untuk membuatnya berbudaya.
Kuliner lokal bernuansa bathok ada di setiap wilayah dengan gaya khasnya. Sahabat pembaca Kompasiana, berkenan sharing pengalaman pun amatan? Selamat berakhir pekan.