Sengaja menunggu dan menjepret saat bus Werkudara melintas di depan Kantor Balai Kota. Menghampiri Tugu Pemandengan, lanjut mengikuti Jembatan Pasar Gede, belok di dekat Tugu Jam. Seraya menatap Kelenteng dan gagahnya Pasar Gede.
Kalau Yogya memiliki titik kosmologi dengan sumbu Merapi-Keraton-Plengkung Gading menuju selatan. Tugu Pemandengan juga menjadi titik kosmologi raja di Solo. Kini dikenal sebagai titik nol Solo.
Diantara ke 5 warisan budaya yang dibabar, Tugu Pemandengan adalah yang tertua. Diperkirakan dibangun saat jumeneng (bertahtanya) Pakubuwono VI hingga Pakubuwono X. Mewarnai kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang.
Pemandengan, berasal dari kata pandeng. Melihat dengan cermat, penuh perhatian, tanpa terganggu kiri kanan. Filosofi bagaimana Raja pemegang pemerintahan melalui meditasi fokus mandeng mencermati kehidupan rakyat dengan dasar kuasa dan kasih dari Illahi.
Pengingat untuk setiap titah memiliki 'Tugu Pemandengan' dalam kehidupannya. Berkeluarga, berkarya pun bermasyarakat. Nurani sebagai pengarah pandeng.
Nah kan, sekali mampir di Pasar Gede, setidaknya 5 cagar budaya terengkuh. Mau beranjak sedikit akan diperjumpakan dengan cagar budaya yang lain. Sungguh Solo kota budaya yang menawan.
Saat bergiat di sektor produksi, mari ingat sisi religi, jembatan harmoni, waktu kita terbatas, tetap fokus pada nurani pemandengan. Demikian gumam Simbok kebun. Salam harmoni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H