Sepiring atau sepincuk bubur tumpang koyor tak pernah gagal memancing selera sarapan Simbok. Bahkan saat nafsu makan sedang ngedrop sekalipun. Rahasia apa sih yang terkandung didalamnya?
Setiap orang memiliki klangenan makanan pembangkit selera. Mulai yang kaya warna, rasa pun kenangan. Bagi Simbok bubur tumpang koyor jawabnya.
Apalagi yang masih panas kebul-kebul menguarkan asapnya. Bisa memasak sendiri. Tentunya lebih puas dari jumlah pun biaya per satuan. Juga higienis terjaga. Imbangannya perlu waktu untuk mempersiapkannya.
Bagi penyuka namun enggan meraciknya sendiri tak usah kecil hati. Tersedia beberapa penjual masing-masing dengan pelanggan fanatiknya. Apalagi kini dapat diakses hanya dengan sentuhan jari di aplikasi perpesananan makanan.
Paling asyiik membeli dan makan langsung di dekat penjualnya. Hehe ngiras, kami menyebutnya. Sangat pamali bagi generasi orang tua. Saru eh kurang santun lah makan koq di warung. Namun kami kini sering melanggarnya.
Mari nikmati ritual penyajiannya. Penjual mengambil satu pincuk daun pisang atau piring dialasi Samir alas daun pisang. Disenduknya 1 irus bubur panas putih dengan aroma harum gurih.
Ditambahkannya sejumput sayuran sesuai pesanan pembeli. Umumnya kecambah kacang hijau, kacang panjang, irisan kol, bayam. Kalau beruntung ketemu si rambut gimbal alias daun adas. Ada pula selada air ataupun cekitri.
Ganti mata yang dimanjakan. Paduan warna putih bubur berpadu dengan aneka warna sayuran segar yang menggoda. Saatnya menanti sensasi berikutnya.
Ditambahkannya beberapa iris daging koyor muda. Boleh meminta sesuai selera dan harga. Hanya daging empuk atau tambah beberapa bagian koyor empuk berlemak gurih. Disiramkannya kuah dan tahu masak tumpang.
Segera paduan aroma menyergap indera penciuman. Sedap khas tumpang koyor tersaji siap disantap. Tangan menyendok, lidah mendecap. Bubur tumpang koyor meluncur menuju ke ruang tengah alias lambung.