Warung kelontong sebagai katup penyelamat gawat darurat. Bukan sekedar transaksi jual beli dagangan. Tidak hanya berwajah dimensi ekonomi, bersanding dimensi sosial dan kekerabatan yang terungkap.
#1
Sreek... Thok...thok.... Ladalah, sudah malam pun hujan deras koq ya ada yang datang. Coba dibukakan pintu saja Pak'e, siapa tahu sangat butuh, bujuk Bu Prasaja.
"Mohon maaf, Pakdhe, malam pun hujan nekad ketok warung" Teguh putra Pak Kuwat, tukang becak di ujung jalan, berujar. Ayahnya pulang kehujanan merasa tidak enak badan. Dibelinya satu botol minyak kayu putih dan jamu masuk angin.
"Sebentar, Le" Bu Prasaja mengulurkan tambahan 2 sachet jahe instan penghangat badan, tolak angin alami ujarnya. Membungkuk hormat berterima kasih, Teguh lanjut bergegas pulang, berpayung menerobos curahan air langit.
#2
Tanpa aba penanda sebelumnya, satu kendaraan penuh penumpang memasuki halaman rumah Bu Kasih jelang tengah hari. Digamitnya Ayu, anak gadisnya dengan bisikan lirih, ke warung Budhe Prasaja. Ayu pun tanggap sasmita.
"Budhe, maaf ada tamu mendadak. Diminta Ibu, minta beras dan uba rampe dulu ke Budhe"
Sorenya Bu Kasih mengangsurkan satu sisir pisang kepok dan seikat tempe belum jadi kepada Bu Prasaja. Sebagian dari buah tangan tetamu siang tadi. Terima kasih, loh Mbakyu, kerabat datang ngepasi kosong sediaan di rumah. Pelunasan belanjaan berlangsung lancar.
#3