Sanggar belajar tidak selalu berupa bangunan tertutup. Sebidang sawah dapat menjadi sanggar belajar yang harmonis ekokultural. Mari simak narasinya.
Memenuhi ajakan sahabat yang bergiat dalam kiprah pendampingan masyarakat. Tetiba mata tercekat dengan rimbun beringin menaungi sumber air melatar sebidang sawah. Hampir saya menyeru, tolong berhenti sejenak. Eh, putaran roda mobil melambat, inilah tempat yang dituju.
Memenuhi dorongan penasaran rasa ingin tahu, simbok segera melangkah ke bagian sumber air yang merupa kolam sederhana dengan volume air melimpah. Â
Melebarkan bidang pandang tertangkap lansekap lahan sedikit berundak. Bagian paling rendah berupa sawah berteras yang dinaungi barisan pohon kelapa.
Tanpa aba-aba tetiba bres ..... hujan lebat tercurah. Kami berlarian berteduh. Para sahabat menjalankan tugas utama berbincang menggali informasi data. Simbok menerawang mengeja sawah yang membabar pola cerita sanggar belajar.
Sanggar belajar ekokulturalÂ
Hamparan sawah bagian dari ekosistem kehidupan makro. Secara internal juga membentuk ekosistem yang khas. Sistem ekologi yang lahir dari interaksi timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Tanaman padi berkomunikasi non verbal secara ekologis dengan sebidang lahan berteras. Sumber air mengalirkan gemericik kesegaran ke petakan sawah. Elemen lain di bidang sawah tersebut membentuk kesatuan yang saling mendukung.
Sawah secara teknis terlihat laiknya barisan padi di lahan. Bersawah pada hakekatnya merupakan kegiatan budaya. Aktivitas di sawah mencerminkan tata budaya yang dianut oleh pelakunya. Ya, secara esensi sawah merupakan representasi ekokultural yang khas.