"Layang-layang terbang tinggi dengan menentang angin bukan mengikutinya." [Winston Churchill]
Riuhnya artikel bertajuk layangan putus menguak nostalgia bermain masa kecil. Bukan tentang tayangan serial. Kenangan masa kanak-kanak mengejar layangan. Bermain layangan bagian dari berbincang dengan alam.
Bermain Layangan Berbincang dengan Ibu Bumi
Bocah cilik berteriak sumringah mengulurkan temuan layangan putus. Tak dihiraukannya leleran keringat di wajah pun kusamnya kulit. Sehelai layangan putus layaknya harta berharga.
Dipungutnya dari lapangan atau tersangkut di batang jagung. Layangan putus, hadiah dari ibu bumi kiriman bapa angkasa. Atau kemurahan dari sesama yang sedang beradu layangan.
Bapak mengajari gendhuknya tentang layangan. Layangan putus diperiksa dengan seksama. Nah ini kerangkanya masih bagus, hanya kertasnya yang robek, nanti diperbaiki.
Mulai perbaikan ringan ditambal dengan bantuan lem upa (butir nasi). Hingga bedah ringan. Kerangka dasar dari rautan bambu. Sumbu melintang dan membujur dengan perbandingan tertentu. Pengenalan awal bentuk geometri dan titik keseimbangan.
Wujud layangan bukan hanya dari kertas. Dikenalkannya layangan dari daun. Bocah cilik ini bermain imajinasi, harus ringan dan bentuknya menyerupai layangan. Dibawanya sehelai jompong (daun jati kering) diikatnya dengan tali gedebog/pelepah pisang yang kering. Aha bukan layangan didapat.
Daun yang digunakan untuk layangan adalah daun gadung (Dioscorea hispida). Awal pengamatan bentuk daun trifoliate (satu tangkai daun memiliki 3 helai daun). Layaknya ibu dengan 2 anak kembarnya.