Sahabat pembaca Kompasiana, apa yang terbayang saat mendengar kosa kata candak kulak? Yaak benar sekali Kredit Candak Kulak yang tenar dengan sebutan KCK. Kini diperbaharui dengan KUR Mikro (Kredit Usaha Rakyat untuk usaha mikro). Mari menilik candak kulak dalam perspektif budaya kemandirian.
Candak kulak dalam perspektif budaya kemandirian
Naik angkot menuju kebun menghadirkan warna warni kisah. Berjumpa dengan ibu sepuh berbusana kain jarik memangku bakul berisi ayam sepasang. Jago dan babon sajodho alias sepayang ayam jantan dan dan induk betina.
Terjadi percakapan ringan dalam bahasa daerah tentunya. "Kagunganipun nggih Bu, bade kasade?" (Miliknya ya, Bu, hendak dijual?)
Beliau menjawab ramah, bahwa bukan ayam peliharaan sendiri. Membeli dari tetangga dan hendak dijual di pasar tradisional berupa pasar tiban non permanen di kota kami.
Aktivitas inipun tidak setiap hari beliau lakukan. Sedapatnya dagangan. Saat musim petai ya membawa petai, lain kali mengusung setandan pisang. Waktu dan jenis dagangan yang tidak ajeg rutin.
Beliau berbagi kisah, suaminya pensiunan dari suatu instansi dan para putranya sudah mentas, artinya sudah mandiri secara ekonomi. Ibu sepuh yang tetap senang bakulan candak kulak karena menyenangkan.
Secara berkala berjumpa orang lain, penjual maupun pembeli, menambah lingkup pergaulan. Memaknai candak kulak sebagai sarana mengalirnya berkat pemeliharaan Tuhan. Mendapat untung secukupnya untuk mencukupkan kebutuhan.
Bukan hanya melulu keuntungan uang. Ada suka cita, merasa tetap berarti di masa sepuh. Kemandirian yang merawat jiwa.
Candak kulak dalam perspektif kemandirian ekonomi kerakyatan