Kemajemukan budaya Indonesia pernyataan keberagaman sisi bangsa. Penyajian artikel budaya wujud estafet nilai kemajemukan. Penulis Artikel Budaya, Meski Lelah Jangan Menyerah.
Kemajemukan Budaya Indonesia
Meski tidak selalu, saya suka mengamati sajian google doodle. Saat Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia 2021, tampil parade seni budaya Indonesia. Pembuatnya adalah ilustrator Kathrin Honesta.
Tema Kemerdekaan Indonesia digambarkan melalui alat musik, tari, dan seni rupa duta budaya dari berbagai daerah di nusantara (Kompas.com). Sasando dari NTT, Rebana, topeng tari Hudoq dari Kalimantan, penari kipas Pakarena Sulawesi, Tifa pewakil Maluku dan Papua, dan Gambus yang lekat dengan budaya Melayu.
Menyoal budaya Nusantara sangatlah beragam. Mendasarkan pada pemahaman budaya merujuk semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Hadirlah ragam budaya sesuai dengan ragam masyarakat. Terdapat varian antar lokasi dan dimensi waktu.
Budaya Nusantara menjadi bersifat dinamis menurut fungsi waktu atau zaman. Juga menghargai kelokalan. Beberapa nilai lokal bersifat umum menjadi nilai global.
Wujudnyapun menjadi sangat beragam. Hasil karya, rasa, dan cipta. Ada ujaran, pengetahuan, ketrampilan, pranata hingga wujud fisik kebendaan pun bangunan. Nah kan teba cakupan budaya sangat luas dan menyentuh sendi kehidupan keseharian.
Kajian budaya juga sangat luas, bergantung dari sudut berangkatnya. Bukan lagi kajian tunggal namun berintegrasi dengan aneka sisi kehidupan manusia. Semisal dari irisan seni budaya pun sisi sosial budaya.
Menyimak artikel budaya di Kompasiana platform blog untuk semua orang sangatlah menarik. Karya dari beragam penulis dengan aneka latar belakang budaya. Menghasilkan kolase karya yang saling melengkapi. Menumbuhkembangkan kecintaan kepada budaya Nusantara yang bineka.
Meski Lelah Jangan Menyerah
Cukup banyak penulis di Kompasiana yang secara khusus menyuguhkan artikel budaya. Racikan artikel yang bukan hanya dari sisi pengetahuan kognitif. Tulisan yang lahir dari pelaku budaya lokal, entah seni budaya ataupun tatanan kemasyarakatan lokal.
Tulisan yang tidak hanya berbagi informasi. Sekaligus menguarkan energi kecintaan terhadap budaya setempat melalui setiap pokok yang dipaparkannya. Semisal penulis yang setia membabar budaya kaldera Tengger. Ada lagi dari sisi budaya masyarakat Dayak, Kalimantan. Pun dari Nusa Tenggara Timur yang khas.
Sempat membaca lontaran kegundahan, artikel budaya kurang diminati pembaca. Mari jangan menyerah toh pendekatan alat ukurnya juga relatif debatable. Beberapa penulis dengan kreatif menaja artikel. Wujud kecintaan budaya tiada tara.
Pendekatan judul dan foto atau gambar pembuka. Menarik calon pembaca untuk menikmati isi sajian. Estafet nilai budaya antar generasi tiada henti. Bukan untuk mandeg pada pengaguman tradisi lama. Memberi diri sebagai pijakan budaya masa kini.
Estafet nilai yang memungkinkan kontekstualisasi budaya agar selalu selaras perkembangan zaman. Terbuka dengan improvisasi tanpa kehilangan jati diri hakiki. Bukankah setiap zaman mengukir sejarah budayanya sendiri?
Ketoprak, Seni untuk Kritik Membangun
Tanpa terencana ternyata ada beberapa artikel ketoprak yang saya sajikan di Kompasiana. Sungguh ini bukan karena mengerti seni budaya ketoprak. Semata karena tertarik untuk sedikit belajar.
Kesenian ketoprak ibarat opera dalam budaya lokal Jawa. Pemain diharapkan memiliki kemampuan aneka seni budaya, mencakup musik, tari, maupun peran. Aneka ranah kecerdasan dilintasinya. Seni ketoprak mengasah kecerdasan majemuk para pelakunya.
Berbicara tentang seni untuk kritik membangun, ketoprak salah satunya. Bagaimana mengajar tanpa menggurui ataupun seni mengemas tuntunan dalam tontonan. Siapapun tidak suka dikritik atau digurui secara langsung. Menyampaikan dan menerima kritik secara cerdas dibangun melalui seni budaya.
Sila singgah: Kesenian Ketoprak, Media Pembelajaran Tanpa Menggurui. Juga, Seni Ketoprak dan Kemasan Tuntunan dalam Tontonan
Ketoprak, seni budaya kuna ah.... ketinggalan zaman. Eits tunggu dulu. Bukankah budaya adalah hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Mesti tanggap dengan perubahan zaman kan ya.
Sebagai media komunikasi tradisional, seni budaya ketoprak juga melakukan peningkatan diri. Tetap efektif di era digital. Tetap asyik dinikmati secara daring maupun luring. Tentunya dengan sentuhan teknologi yang mendukung.
Mari singgah: Efektivitas Ketoprak sebagai Media Komunikasi Tradisional di Era Digital. Juga, Seni Pertunjukan Ketoprak Daring, Laga Kreasi Pelaku Seni
Seni budaya ketoprak bukan monopoli kaum tua. Melibatkan generasi Y, Z, dan Alfa mengapa tidak? Estafet nilai budaya. Teringat saat diundang teman pegiat seni budaya meracik peringatan Hari Sumpah Pemuda dengan gelaran ketoprak. Para pemuda mengolah seni untuk kritik dengan santun.
Mari singgah: Bangga dengan Generasi Y dan Z yang Berkesenian Tradisional. Juga, Penghayatan Sumpah Pemuda dalam Gelar Panen Agung
Wasana Kata
Budaya adalah bagian eksistensi bangsa. Keragaman budaya Indonesia pernyataan kemajemukan bangsa. Nilai kemajemukan budaya yang dihidupi dalam keseharian.
Penulis artikel budaya, meski lelah jangan menyerah. Pegiat seni budaya mari semakin berkarya. Mensyukuri berkat kemerdekaan melalui karya budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H