Pasar bukan hanya tempat transaksi, namun juga menjadi bagian etalase kehidupan yang merujuk pada tatanan sosial budaya masyarakat sekitarnya. Mari melongok pasar lokal, pekan Tigaraja, Parapat, Kabupaten Simalungun dalam merawat gerakan cinta pasar tradisional.
Selayang pandang Pasar Tradisional Tigaraja
Selamat berakhir pekan para sahabat pembaca Kompasiana. Seraya menikmati suasana santai, mari melongok ke Pekan Tigaraja, Parapat. Menyesap keunikan darinya.
Ini kisah kunjungan tengah hari Mas Mbarep yang bertugas menata kuliner mengarahkan perjalanan ke Pasar Tradisional Tigaraja.Â
Ada lapo, warung makan khas Batak, impian buat pengunjung Toba yang wajib dicoba. Lokasinya berada di pasar lokal, berbaur dengan aneka pedagang.
Lanjut melongok ke bagian hasil bumi, terpisah antara etalase hasil bumi daratan dan sajian kekayaan perairan di los ikan. Tentunya memajang produk khas lokal semisal andaliman, buah terong Belanda, ikan tawar danau Toba, berpadu dengan produk pendatang. Pasar lokal yang bangga akan produk lokal, tidak serta merta anti dengan produk dari daerah lain.Â
Melangkah sedikit ke pasar Tigaraja yang berdempetan dengan dermaga penyeberangan Tigaraja. Terdapat deret tuk-tuk yang akan membantu pengunjung menyebrangi Pulau Samosir.Â
Siang itu saat ke sana, suasana agak lumayan ramai oleh kehadiran pelancong domestik maupun mancanegara. Terbayang pentingnya pasar Tigaraja saat komunikasi dan transportasi belum selancar ini. Pasar Tigaraja menjadi pertemuan antar komunitas gunung, pesisir danau dan pulau Samosir. Dengan kata lain, menjadi transaksi barang dan jasa yang berguna sebagai penggerak ekonomi setempat.
Saatnya kembali ke lapo....
Segarnya sajian jus buah lokal paduan markisa terong Belanda (jus Martabe) dan manis gurih arsik ikan segar tangkapan dari Danau Toba. Mulut pun langsung mendecap dan mata mengerjab sembari mencicip sambal andaliman.Â
Eda empunya lapo pun tanggap dengan rasa penasaran kami. Beliau memperlihatkan wujud fisik andaliman yang bulat mungil dan menawarkan kami bungkusan. Kami pun akhirnya membungkus dengan foto saja.
Pasar Tradisional sebagai Etalase Budaya Lokal dan Edukasi Bangga Produk Lokal
Setiap daerah memiliki sebutan yang khas untuk pasar lokal, awalnya rekan pemandu blusukan kami dalam perjalanan Medan-Berastagi- Parapat-Pematang Siantar menyebutnya pajak. Namun, di sisi lain beliau menyebutnya pekan. Lah kalau ini mirip dengan bahasa daerah di Jawa Tengah, peken bahasa yang lebih halus. Tiba-tiba telinga menajam kala diserukan onan.
Onan adalah bahasa Batak, berasal dari "on" dan "an" yang berarti ini dan itu. Onan menyediakan barang ini dan itu. Pembeli ini dan itu memerlukan barang ini dan itu.Â
Biasanya pada hari Onan atau hari pasaran, kegiatan akan lebih ramai. Pembeli lebih bebas memilih barang yang diinginkannya. Penyebar warta atau informasi memilih berdatangan di hari tersebut untuk penyebaran informasi efektif sekaligus efisien.
Jadi teringat penamaan pasar di daerah Solo berkenaan dengan hari pasarannya, seperti Pasar Pon, Pasar Kliwon, Pasar Legi yang menonjol selain Pasar Wage dan Pahing.
Beruntung, saat kami tiba di sana, pemandu yang berasal dari lokal Simalungun memaparkan aneka cerita tentang pasar. Dari peran sebagai lembaga adat hingga peran romantis bagi muda mudi setempat. Mar-onan-tombis, perkenalan yang bermula dengan senggolan di Onan atau pasar.
Onan menjadi wadah interaksi penjual dan pembeli ini itu, menjadi sarana perjumpaan antara kerabat ini dan itu. Bertemunya produsen dan konsumen.Â
Pasar menjadi perjumpaan antar produk, baik lokal maupun dengan pendatang entah dari daerah tetangga atau negeri jauh. Produk lokal berpacu meningkatkan kualitas agar menjadi raja di rumah sendiri. Nilai kelokalan yang tidak luluh dengan senggolan asing.
Nah kan, melongok sejenak di pekan Tigaraja, Parapat. Menyesap sebagian dari keunikan tatanan masyarakat sekitar. Lidah dan perut dimanjakan, mata juga tergoda dengan keramahan eda pedagang. Hati dan pikiran pun ikut mendapat usapan gizi budaya lokal.
Kini saat mengenang kunjungan itu, hati berdesir. Eh jangan-jangan terjadi tombis (senggolan) dengan Ompung Boru (nenek) si Poltak saat beliau membeli sepatu spartakus untuk cucunya. Ah, sungguh pengalaman berharga di Onan Tigaraja.
Sejatinya, pasar tradisional yang dinamis menyesuaikan dengan tuntutan zaman menjadi ajang penanaman cinta produk dalam negeri.Â
Cinta yang dibangun bukan sekadar fanatik dan gampang anti dengan produk lain. Gerakan cinta pasar tradisional yang dikondisikan bukan sekadar latah gaya, namun terdapat edukasi yang terencana tertata. Seperti di daerah lain, pasar juga menjadi bagian dari sumber dan penyebaran informasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H