Cagar Budaya Nasional Lawang Sewu ikon Kota Semarang, siapa yang tak kenal? Sejarah maupun keindahan arsitektura bangunannya mempesona banyak pengunjung. Ada yang tertarik dengan gorong-gorongnya? Yook bersama saya blusukan di bawah tanah gedung B.... Menyimak pembelajaran Zero Run Off System (ZROS), pengelolaan limpasan permukaan bagian pengendalian banjir.
Cagar Budaya Nasional Lawang Sewu dan Ekologi Tropis
Cagar Budaya Nasional Lawang Sewu ini memiliki no registrasi nasional cagar budaya RNCB.20150713.02.000030. Bangunan Lawang Sewu yang dahulu disebut Wilhelminaplein adalah bekas kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS (Perusahaan kereta Api Belanda). Museum yang mendokumentasikan sejarah perkeretaapian Indonesia dengan sangat lengkap.
Mulai dibangun pada tahun 1904 dan selesai pada sekitar tahun 1907. Ciri khas bangunan perkantoran jaman Belanda, diawali dengan rancangan yang sangat memperhatikan kondisi lingkungan.
Menyadari Kota Semarang memiliki curah hujan yang tinggi dan fisiografisnya datar dirancang sistem drainase untuk pembuangan air berlebih. Jadi air buangan tidak dibiarkan mengalir ke sembarang tempat sehingga mengganggu sanitasi/kebersihan lingkungan.
Pilihannya adalah dirancang sistem pembuangan air melalui pipa bawah tanah untuk dibuang ke sumur resapan sehingga permukaan bangunan tidak becek dan banjir. Ruang bawah tanah inilah yang dipergunakan untuk pengaturan sistem drainase yang mengontrol suplai air hujan demi mencegah banjir.
Selain itu, ruangan bawah tanah ini juga berfungsi sebagai pengatur suhu gedung Lawang Sewu, hmmm pendekatan yang sangat ramah lingkungan ekologis tropis.......
Menyimak Gorong-gorong Lawang Sewu, Mari Balikkan Kesan....!!!!!
Salah satu bagian yang sangat menarik di Bangunan Cagar Budaya Nasional adalah ruang bawah tanah di gedung B. Sebagai pengingat lokasi agar mudah, deretan lawang sewu (seribu pintu) yang cantik artistik berada di gedung yang sama. Nah kan bisa sekalian mendapat sisi unik deretan pintu dan ruang bawah tanahnya.
Memasuki bagian menuju bawah tanah tempat gorong-gorong (saluran air di dalam tanah) berada terasa kesan (maaf) sedikit kumuh. Juga "dibangun kesan kurang nyaman", semisal cerita-cerita seram, ruang suram, senter maupun sepatu boot dengan imej becek. Belum lagi kombinasi pertanyaan berbalut nada bujukan, berani turun?
Sehingga, saat pemandu wisata bertanya, apakah ibu akan turun? Kami duo simbok kebun sepakat iyalah sudah sampai di sini. Ini kunjungan lama, pada tahun 2013. Memilih sepatu boot plus senter dan siap menuruni tangga agak curam di ruang nan gelap. Kalau memang dirancang berkunjung ke areal ini, dapat bersiap mengenakan sepatu yang pas dari rumah.
Sebelum Mas pemandu bercerita lanjut tentang keseraman, simbok secara sistematis mengarahkan pada pertanyaan tentang sistem pembuangan air. Pada bagian ujung bawah tangga didapat bak-bak tandon penampungan air yang semua mengalir melalui pipa pembuangan.
Nah, dengan gambaran tersebut sangat menyedihkan bila dibangun kesan dominan setengah horor di ruangan tersebut. Mengapa ya tidak dilakukan pembalikan kesan semisal disajikan juga rancangan pipa drainasenya. Ruang bawah tanah ini menjadi bagian pembelajaran rancangan arsitektura ekologis tropis yang menarik dan sangat berharga.
Pengelolaan Limpasan Permukaan Hujan
Skema sederhana hujan, pasokan air datang adalah curah hujan. Sebagian air hujan akan diserap oleh tanaman dan kembali ke atmosfer melalui penguapannya. Sebagian masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi lanjut perkolasi ke lapisan bawah sesuai karakteristik tanah.
Sisanya menjadi limpasan permukaan alias run off. Zero ron off bermakna tidak membiarkan curahan hujan mengalir di permukaan bebas. Air hujan ditampung dan disalurkan dengan kaidah tertentu.
Konsep ini bukanlah sangat baru. Dirancang dan diterapkan dengan sungguh-sungguh pada pembangunan gedung Lawang Sewu pada awal abad 19. Konsep yang tetap relevan hingga saat ini.
Berikut adalah Kajian Aspek Tropis Pada Bangunan Kolonial Lawang Sewu Semarang (Malik, Abdul (2004). Jurnal Jurusan Arsitektur UNDIP. Dengan penekanan pada sistem utilitas air.
Air hujan, tentunya besaran curah hujan dapat dihitung dengan data dari instansi terkait. Memperhitungkan fluktuasi curah hujan tahunan dengan rentang waktu sesuai dengan fungsi bangunan.
Curahan air hujan dari atap di tampung pada talang terbuka dengan ukuran lebar 40 cm. Kemudian disalurkan melalui pipa tertutup ke bawah tanah yang berada di basement bangunan B. Kemudian air tersebut dipergunakan kembali setelah diproses, semisal untuk penyiraman taman.
Kereen sekali, menerapkan konsep yang kini disebut TRMA. Tampung, resapan, manfaatkan dan sisanya alirkan dengan aman. Tidak semua air hujan di kawasan dimasukkan ke ruang bawah tanah.
Mari simak pembuangan kelebihan air hujan dari lantai bangunan. Pada tiap-tiap lantai di bagian selasar dibuat aliran-aliran dari beton untuk menampung air hujan. Kemudian dibuang ke bawah tanah melalui selokan terbuka dari beton dengan ukuran lebar 40 cm. Tentunya diperlukan pemeliharaan secara berkala.
Selain pengelolaan air hujan pada bidang bangunan juga dirancang pembuangan air untuk kawasan terbuka di sekitar bangunan. Untuk drainase air hujan pada bagian ruang luar umumnya menggunakan peresapan setempat.
Tidak hanya pengelolaan air hujan pada bangunan dan pekarangan terbuka yang dirancang apik. Menapisnya, sekeliling kawasan juga dikitari parit kecil dengan out let menuju parit lingkungan. Parit terluar ini menjadi saluran penangkal banjir yang dapat terlihat dengan jelas oleh pengunjung
Pengelolaan Air bersih dan air kotor
Menyadari air bersih adalah nyawa kehidupan. Air bersih untuk kawasan ini pada zamannya diperoleh / diambil dari sumur besar di luar site. Demi keamanan, air bersih langsung di pompa menuju tandon yang berada di atas bangunan menara kembar kemudian baru disalurkan ke seluruh bangunan (sistem down feet).
Bagaimana dengan pengelolaan air kotor? Air kotor langsung disalurkan keselokan yang ada di sekitar site. Semua dialirkan melalui pipa yang ditanam di dalam tanah, sanitasi lingkungan yang apik. Mereduksi pemandangan kurang elok dan polusi bau.
Air kotor tidak bercampur dengan air hujan di ruang bawah tanah. Penataan dengan menyesuaikan kapasitas tampung dan kapasitas pembuang air di lingkungan. Dipadu dengan keelokan arsitektura.
Penutup
Sistem pengelolaan limpasan permukaan, zero run off system banyak diterapkan pada kawasan makro maupun mikro semisal kompleks perumahan. Bahkan semestinya dapat diterapkan pada kawasan perkantoran maupun bisnis. Memaksimalkan fungsi air hujan dan mereduksi efek banjir maupun polusi air.
Mari kita menyerap pembelajaran dari kawasan Lawang Sewu. Paduan eduwisata dan pengelolaan lingkungan tropis. Istimewa kan, lebih dari unggah foto di media sosial namun mari bawa oleh-oleh cinta lingkungan untuk diterapkan di rumah. Tidak mengapa mulai dari skala sangat mini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H