Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Mencecap Budaya Karo di Gereja Inkulturatif Berastagi

29 September 2020   19:00 Diperbarui: 2 Oktober 2020   03:32 1648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berastagi memiliki kemiripan dengan Bali. Apanya? Sesama dimulai dengan huruf B? Bukan. Sering orang luar lebih mengenal Bali daripada Indonesia. Begitupan banyak orang lebih mengenal Berastagi dibanding Karo. Yup, Kecamatan Berastagi bagian dari wilayah Kabupaten Karo.

Lansekap Berastagi yang bergunung dan berhawa sejuk menjadi kawasan wisata dan peristirahatan. Nah saat berkunjung ke Berastagi, pandang terpikat dengan bangunan anggun menjulang bernuansa etnik. Pikiran bawah sadar memerintah mulut bersuara, minta tolong balik ya Bang.

Gereja Katolik Inkulturatif Karo, St. Fransiskus Asisi Berastagi, demikian tertulis di plang penanda depan. Berada tepat di tepi jalan besar (raya) lintas Karo - Medan tepatnya di jalan Letjen Djamin Gintings. Setiap pelintas tentu akan melihat kemegahannya.

Penanda gereja inkulturatif Karo di Berastagi. (Foto: Dokumentasi pribadi)
Penanda gereja inkulturatif Karo di Berastagi. (Foto: Dokumentasi pribadi)
Rumah ibadah... apakah diizinkan masuk ya? Seseorang yang sedang berada di dekat pintu masuk dengan ramah mengangguk dan memberikan isyarat mengundang.

Mulut hampir ternganga, mata melebar memandang kesatuan bangunan dan alam yang luar biasa apik. Ada bangunan megah berpenanda Rumah Gugung Tirto Mejiho. Berupa rumah panggung, kami juga dipersilakan kalau hendak melongoknya. Penelusuran menunjukkan ini adalah replika rumah adat Batak Karo.

Rumah Gugung di kompleks gereja inkulturatif Karo, Berastagi. (Foto: Dokumentasi pribadi)
Rumah Gugung di kompleks gereja inkulturatif Karo, Berastagi. (Foto: Dokumentasi pribadi)
Hamparan luas rumput menghijau rapi dengan aneka bebungaan berada di depan bangunan gereja. Kepala mendongak, mata memicing melebar bergantian mengagumi apiknya arsitektura bangunan gereja. Ketinggian bertingkap-tingkap. Serapan budaya lokal arsitektura Karo.

Penasaran, pastinya setiap ornamen memiliki makna, perpaduan antara budaya dan religi. Memenuhi keramahan undangan petugas, kami menapaki teras gereja. Sambutan tulisan Mejuah-juah. 

Hanya sejenak melongok ke dalam ruang ibadah yang luas hampir tanpa sekat dan berlangit-langit sangat tinggi. Tentunya akan menopang kenyamanan dan kekhusyukan saat beribadah.

ruang ibadah di bangunan alamiah ekologis. (Foto: Dokumentasi pribadi)
ruang ibadah di bangunan alamiah ekologis. (Foto: Dokumentasi pribadi)
Lanjut menyigi bagian tembok pagar depan. Jalan salib yang setiap perhentiannya disajikan tulisan bahasa daerah. Teringat hal senada di gereja Ganjuran, Bantul dengan arsitektura bangunan Pendapa dan jalan salib dengan panduan aksara Jawa.

Pengejawantahan inkulturatif, budaya religi Katolik yang dipadukan dengan budaya dan tradisi khas Sumatera Utara, khususnya budaya Karo. Bangunan rumah adat Batak Karo menginspirasi arsitektura Gereja St. Fransiskus. Kokoh, artistik, unik.

Narasi bahasa Batak Karo di setiap perhentian jalan salib. (Foto: Dokumentasi pribadi)
Narasi bahasa Batak Karo di setiap perhentian jalan salib. (Foto: Dokumentasi pribadi)
Mencari data pendukung, gereja ini diresmikan pada 20 Februari 2005 bertepatan dengan misa agung oleh Mr Pius Dabtubara. Dimensi bangunan gereja inti, memiliki lebar bangunan mencapai 24 meter, panjang sekitar 32 meter dan tinggi 35 meter. Terbayang kan proporsi menjulang tingginya.

Bangunan tradisional Batak Karo

Merunut dari bacaan (kebudayaan kemendikbud.go.id), bangunan tradisional Batak Karo memiliki arsitektura bentuk, struktur dan tahapan pembuatan yang baku. Diwariskan turun temurin antar generasi. Bukan hanya sekedar rumah untuk berlindung bagi keluarga inti. Mencakup pula fungsi sosial.

Arsitektura bangunan yang bernilai ekologis. Menerapkan penyesuaian konsep daerah iklim lembab tropis. Mari simak bagian atap. Memiliki sudut kemiringan lumayan besar dengan teritisan yang lebar. Menangkap derasnya pukulan hujan, agak menahannya di teritis. Bagian pengaturan suhu rumah secara alami. Pengetahuan lokal yang menjadi dasar kearifan.

[Ooh, menyimak ada nilai persamaan dengan arsitektura atap rumah bagonjong di Sumatera Barat. Menyesuaikan pasokan air yang dibawa angin kuat dari Samudera Indonesia]

Menyikapi kelembaban tanah, diraciklah lantai bangunan yang diangkat dari muka tanah. Semacam rumah panggung. Nilai kearifan menjaga kelembaban dalam rumah. Antisipasi kesehatan penghuni dengan apik. Arsitektura rumah ekologis.

Rumah adat Karo (Dokumentasi Pribadi/foto: Rian)
Rumah adat Karo (Dokumentasi Pribadi/foto: Rian)
Menengadah secara vertikal, struktur bangunan rumah adat karo terbagi atas tiga bagian yaitu bagian atap, badan rumah dan bagian kaki. 

Ruang atap sebagai representasi dunia atas, pengakuan akan kekuatan dan tempat yang disucikan. Badan rumah lekat dengan pemaknaan tempat kehidupan nyata keduniawian. Kaki rumah sebagai dunia bawah, tempat ternak berteduh.

Mejuah-juah

Bersyukur sekali, menuruti kata hati. Nekad putar balik mampir. Ternyata mendapat pembelajaran inkulturasi.

Secara pribadi, sangat tertarik dan menikmati bangunan rumah ibadah yang menyatu dengan budaya setempat. Juga menjadi bagian dari pelestarian nilai luhur kelokalan. Menanamkan religi tanpa mencerabut akar budaya.

Menyimak kerumitan struktur bangunan rumah adat dan materi yang dipergunakan, terbayang taksiran nilai bangunan. Mungkin akan terjadi penyusutan minat membangun rumah hunian dengan bangunan tradisi. Nah, arsitektura gereja inkulturatif ini menjadi juga 'semacam prasasti' bangunan rumah adat Karo.

Menjelang undur dari kawasan gereja, terlihat kanak-kanak berbondong-bondong mengisi lapangan berumput hijau. Ada aktivitas dengan panduan kakak-kakak remaja dan pemuda. Lingkungan gereja menjadi bagian dari pusat kegiatan, terjalin relasi dengan kehidupan keseharian.

Saling mengangguk bersalam dan kami berpamitan dengan seruan mejuah-juah....... Mencecap budaya Karo di Gereja Katolik Inkulturatif St Fransiskus Asisi Berastagi. Mari lanjut wisata alam, budaya termasuk kuliner Karo yang khas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun