Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Nyabuk Gunung", Budaya Memuliakan Tanah dan Menekan Erosi

11 Desember 2019   14:01 Diperbarui: 11 Desember 2019   20:16 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nyabuk gunung, menekan erosi dan memuliakan tanah (dok pri)

Kehidupan manusia berkaitan sangat erat dengan seluk beluk tanah. Indonesia memiliki kearifan lokal memuliakan tanah dengan budaya 'nyabuk gunung'. Budaya menekan erosi dan menyelamatkan masa depan. Selaras dengan tema Hari Tanah Sedunia 2019.

Nyabuk Gunung Memuliakan Tanah
Gunung memiliki makna mendalam bagi budaya kehidupan manusia. Tidak hanya makna fisik, namun memiliki makna alegoris. Makna kiasan, majas yang menjelaskan tujuan tanpa arti harafiah wadagnya semata.

Perjumpaan batin manusia dengan Sang Penciptanya juga dilambangkan dengan gunung. Bila seseorang menyeru, 'Dialah gunung batu, tempat perlindungan teguh' Pengakuan bahwa sebagai titah penuh keterbatasan.

Gunung menjadi simbol penting dalam budaya. Semisal gunungan dalam wayang. Merangkum harmoni flora-fauna dalam simbol gunungan. Begitupun tumpeng yang akrab dengan ritual mengambil rupa miniatur gunung.

Pendek kata, relasi manusia dengan gunung adalah relasi pemuliaan atau pengagungan. Memperlakukan dengan tidak sembarangan. Menjaga kehormatan.

Nyabuk gunung, mengapa gunung perlu diberi sabuk atau ikat pinggang? Bukankah gunung adalah sosok yang tangguh?

Pemakaian sabuk bertujuan mengencangkan. Simbol kesiagaan menjaga kehormatan. Apa jadinya kalau penutup badan longgar tanpa ikat pinggang. Melorotnya pakaian menjadikan rasa kewirangan, malu yang sangat, karena tidak mampu menjaga kehormatan.

Begitupun majas nyabuk gunung, adalah penghormatan atas tubuh gunung alias tanah. Nyabuk gunung adalah budaya gerakan moral menjaga keutuhan lingkungan tanah ciptaan agar tidak melorot. Melorot baik secara harafiah melalui erosi maupun melorot secara fungsi oleh degradasi.

Melorotnya tanah dari lereng gunung menghadirkan rasa kewirangan. Upaya nyabuk gunung adalah upaya menjaga martabat manusia sebagai pemegang mandat menjaga dan mengelola bumi. Nyabuk gunung adalah memuliakan tanah.

Gerakan moral memuliakan tanah ini tidak mandeg dalam wacana permainan kata. Diwujudnyatakan dalam racikan teknologi. Sebagai masyarakat agraris, menyusun pola bertanam yang menghargai martabat gunung, memuliakan tanah.

Budaya nyabuk gunung juga lekat dengan masyarakat Jawa Barat yang menyebutnya ngais gunung. Begitupun di Bali, disebut dengan sengkedan.

Istilah sabuk gunung dalam kehidupan merujuk pada pola penggunaan lahan pada daerah berlereng dengan cara mengikuti kontur atau memotong lereng. Secara perspeftif akan terlihat sabuk atau ikat pinggang yang melingkari tubuh gunung.

Petani, merawat tanah merawat kehormatan (dok pri)
Petani, merawat tanah merawat kehormatan (dok pri)

Secara teknis akan menghasilkan bentuk berundak. Jajaran teras pada bidang kelerengan. Sehingga muncul istilah terasering. Memotong panjang lereng untuk mengurangi erosi tanah. Erosi tanah berupa pengikisan permukaan tanah yang identik dengan 'melorotnya pakaian' gunung.

Pendekatan nyabuk gunung adalah gerakan memuliakan tanah. Menjaga martabat manusia pengelola bumi. Rasa malu yang sangat apabila tanah mengalami erosi. Rasa pengakuan yang diikuti dengan tindakan nyata.

Kendalikan Erosi Tanah, Selamatkan Masa Depan
Realita menunjukkan makin banyaknya tanah yang mengalami kerusakan atau degradasi. Aneka wujud kerusakan mulai dari erosi, polusi hingga sedimentasi. Penyebabnya ada yang bersifat alami, banyak yang berasal dari praktik pengelolaan yang kurang tepat.

Realita berdasarkan telaah ini, menggerakkan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, sejak tahun 2015 menetapkan Hari Tanah Sedunia. Diperingati setiap tanggal 5 Desember. Tujuan utamanya adalah membangun dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kerusakan tanah.

Hari Tanah Sedunia tahun 2019 ini bertemakan "Stop Erosi Tanah, Selamatkan Masa Depan". Mengapa erosi atau pengikisan permukaan tanah perlu dikendalikan? Adakah batas toleransi erosi?

Secara genetik geologis, tanah merupakan lapisan yang tumbuh. Kecepatan pembentukan tanah alami sangatlah lambat. Untuk membentuk lapisan tanah baru setebal 2-3 cm diperlukan waktu 10 abad alias 1000 tahun.

Berarti hanya sepersekian mm ketebalan tanah terbentuk setiap tahunnya. Secara alami, itu juga nilai batas toleransi erosinya. Erosi yang melebihi batas aman akan mengancam masa depan kehidupan manusia.

Lereng terbuka, peka erosi (dok pri)
Lereng terbuka, peka erosi (dok pri)

Mengendalikan erosi menjadi tanggung jawab bersama manusia. Selama ini penunjuk selalu teracung kepada pelaku agrobisnis langsung. Praktek pengelolaan lahan dan teknik budidaya yang tidak sepenuhnya mengikuti kaidah konservasi.

Tertinggal secuil hutan di puncak bukit (dok pri)
Tertinggal secuil hutan di puncak bukit (dok pri)

Ada interaksi timbal balik antara produsen dan konsumen yang mempengaruhi perilaku berolah tanah. Ada tuntutan konsumen-produsen yang memicu peningkatan erosi tanah. Erosi bukan hanya masalah produksi.

Dataran tinggi Dieng, merupakan salah satu laboratorium alam untuk amatan erosi tanah yang nyata. Selalu berdebar saat mengunjunginya tahun demi tahun. Kawasan hutan semakin sempit di puncak bukit. Bahkan beberapa bukit terbuka polos. 

Petani menggenjot produksi kentang memasok pesanan. Terengah menahan produktivitas yang kian melorot. Pada daerah dengan ekologi senada mencapai 20 ton per hektar. Produktivitas di wilayah ini mentok di belasan awal ton per hektarnya.

Begitu sering pendampingan teknis di lapangan berhadapan dengan struktur dan kebijakan yang berlaku di masyarakat umum. Tindakan teknis yang dilandasi oleh budaya setempat, lebih mudah diterima oleh pelaku agrobisnis. Erosi tanah merasuk ranah sosial budaya, bagian dari pilar humaniora.

Pemukiman dan penggundulan bukit (dok pri)
Pemukiman dan penggundulan bukit (dok pri)

Alangkah indahnya apabila kesadaran memelihara martabat, kehormatan dan memuliakan tanah ini menjadi milik bersama. Bersama merasa kewirangan, malu dengan erosi yang menelanjangi bumi. Mari bersama memiliki budaya "Nyabuk Gunung" memuliakan tanah dan menekan erosi.

Salam lestari

Catatan: Foto-foto, diambil dari kawasan dataran tinggi Dieng. Artikel apresiasi atas artikel sahabat kompasianer yang "Nyabuk Gunung" bersama masyarakat Tengger.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun