Pembaca kompasiana, apakah Anda penggemar kolang-kaling? Apalagi kalau disajikan dalam wujud kolak dengan pemanis gula Aren. Nah, mari simak pesan pohon Aren penjaga lereng.
Pohon Aren Penjaga Lereng
Agroekologi lahan pohon Aren umumnya adalah daerah dengan ketinggian sedang. Bentang lahan berombak berbukit. Hamparan ladang pohon Aren ini saya jumpai di lereng Barat Daya Gunung Telomoyo.
Mendaki kelerengan Telomoyo di beberapa desa wilayah Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang disuguhi pemandangan yang apik. Melongok ke bawah terlihat kawasan Rawa Pening. Sepanjang pendakian diapit jurang dan tebing.
Sejauh mata memandang, kelerengan ini rimbun dengan tanaman tahunan. Beberapa sosok menjulang terlihat seperti pohon kelapa dengan tandan buah lebat. Itulah keragaan pohon Aren (Arenga pinnata), kerap disebut Enau ataupun Ruyung di ranah Minang.
Sebagai daerah berlereng dengan curah hujan tinggi, kawasan ini cukup rentan dengan erosi dan longsor. Selain bangungan fisik beronjong penahan longsor, keberadaan pepohonan berakar dalam sangat efektif menahan longsor. Salah satunya adalah pohon Aren.
Begitupan rangkaian pelepah daunnya laksana kanopi pelindung bentang lereng. Energi pukul air hujan dari curahan dihadangnya. Bagaikan terjunan berundak air hujan dengan daya pukul yang telah berkurang bergulir ke tanaman perdu di bawahnya.
Perdu yang tumbuh bersama pohon Aren biasanya adalah kopi gunung. Berikutnya guyuran air hujan dari kanopi kopi menuji ke rumpun di sela kopi semisal jajaran tanaman kapulaga.
Secara irisan vertikal, terbentuk sistem multi strata dengan aneka level ketinggian. Terjadi pemecahan energi potensial hujan. Hingga daya pukul terhadap permukaan tanah sangat diredam.
Pohon Aren sebagai komponen tegakan tinggi berperan sebagai penata distribusi daya pukul hujan. Kombinasi peran kanopi dan perakaran Aren menjadi bagian dari konservasi tanah secara biologis. Pohon Aren menjalankan darmanya sebagai penjaga lereng.
Hikayat Pohon Aren
Menurut suku Rejang, Bengkulu, pohon Enau adalah jelmaan dari Putri Sedaro Putih. Seorang putri yang tumbuh dalam kasih sayang keluarganya. Takdir menyuratkan bahwa sang putri adalah sarana kesejahteraan umat sekitarnya. Mewujud dalam pohon Enau.
Lain pula cerita rakyat dari Sumatera Utara. Bagi bumi Karo, Enau diyakini sebagai jelmaan Beru Sibou. Tetap dalam bingkai kasih sayang antar saudara, Beru Siboa rela berkorban untuk saudaranya Tare Iluh. Semesta merestui dengan berubah wujudnya Beru Siboa menjadi pohon Enau.
Kisah pohon Enau juga lekat dengan cerita rakyat dari Nusa Tenggara Barat. Adalah Dedara Nunggal, seorang gadis yang terlunta dan dikisahkan menjelma menjadi pohon Enau. Enau yang dinarasikan pembawa kebaikan bagi manusia yang memeliharanya.
Selalu ada benang merah pengikat antar cerita rakyat ini. Semua berkisah tentang pemberian diri seorang putri. Bukankah ini narasi dari pemberian Ibu Pertiwi? Salah satu anugerah alam bumi untuk kesejahteraan masyarakat pemeliharanya.
Pohon Aren Multiguna
Buah Aren yang diolah menghasilkan kolang-kaling. Buah direbus untuk menonaktifkan senyawa oksalat yang membuat gatal perih kulit. Kemudian dipecah untuk mengeluarkan biji kolang-kaling. Limbah kulit buahnya sering dijadikan pupuk.
Batangnya juga kaya dengan karbohidrat. Empulur dalam batang dihancurkan dan diperas beberapa kali, kemudian dienapkan lanjut dengan pengeringan. Menghasilkan tepung Aren bahan dasar aneka penganan.
Begitupun ijuk nya digunakan untuk aneka keperluan. Kerajinan hingga perlengkapan rumah tangga. Lidi, tulang daunnya juga digunakan sebagai bahan dasar kerajinan. Seluruh bagian tanaman dari akar, batang, bunga, buah pun daun dapat dimanfaatkan oleh manusia.
Gula Edan
Gula termasuk komoditas strategi Nasional. Sayangnya kita masih belum mampu memenuhi kebutuhan. Selain gula tebu, kita memiliki bahan baku gula kelapa, Aren/Enau, siwalan. Sedang dikembangkan stevia meski skala terbatas.
Gula Aren memiliki karakter yang unik, penggemar fanatik dan harganyapun juga menarik. Tingginya harga gula Aren menggelitik sang pengrajin gula Aren di pedesaan. Meracik kiat bagaimana memenuhi permintaan saat produksi nira Aren menjadi pembatas.
Pengrajin yang agak nakal, pada posisi kepepet, memproduksi 'gula edan'. Mudahnya adalah mengolah kembali gula, yaitu gula tebu dengan nira Aren sebagai inti atau essence. Pada umumnya konsumen segera merasa tertipu, mempertanyakan etika fairness dalam perdagangan.
Mari secara arif kita kupas akar masalah fenomena ini secara obyektif. Agar setiap komponen nyaman. Konsumen dan produsen terlindungi dan pengrajin gula Aren di pedesaan juga merasakan sejahtera.
Amatan dan telaah menunjukkan, keterbatasan bahan baku nira Aren berpangkal dari populasinya di alam yang tidak seimbang dengan kebutuhan. Pada umumnya tanaman Aren (Arenga pinnata) tumbuh secara alami tanpa tindakan budidaya massal.
Biji Aren si 'Puteri Tidur' dan Penataan Populasi Pohon Aren
Hamparan kebun tebu, juga kelapa umum ditemui. Begitupun untuk bit dan stevia sebagai alternatif bahan gula. Namun penanaman Aren masih sangat tradisional. Tumbuh di kelerengan hampir tanpa pengaturan jarak tanam.
Pada masa lampau penyebaran Aren dilakukan oleh hewan semisal musang. Buah Aren yang masak dimakan musang. Bijinya yang sangat keras masuk ke lambung musang mengalami perendaman enzimatis secara alami hingga melunak. Pengetahuan lokal yang terkemas apik.
Biji akan tersebar bersamaan dengan kotoran musang. Tumbuh menjadi tanaman muda yang baru. Penataan alami mengingat biji Aren memiliki sifat dormansi. Sifat 'tidur panjang' layaknya 'puteri tidur' sebelum mengalami proses berkecambah dan tumbuh menjadi tanaman baru.
Penataan populasi tanaman Aren secara sengaja dimulai dengan persiapan pembibitan. Pendampingan petani Aren melakukan peremajaan. Tidak cukup dengan bibit yang tumbuh secara alami oleh musang.
Para pakar menghasilkan teknologi mengadopsi proses dalam lambung musang untuk memperpendek masa dormansi, tidur panjang si biji. Selain itu juga telah diintroduksi tanaman Aren umur genjah yang cepat berbuah. Seperti yang dilakukan di Sulawesi.
Menyadap Nira Aren dalam Bingkai Budaya
Masyarakat Karo mengenal nyanyian Enau. Nyanyian yang dilakukan saat menyadap nira Aren. Nyanyian yang dipercaya memperlancar aliran nira. Agak mirip dengan kisah di ranah Minang. Konon penyadap nira menyanyi hingga meratap melambungkan doa sambil memukul batang Aren. Bahkan ada peratap profesionalnya.
Lain lagi dengan budaya Bengkulu. Penyadap memukul lembut tangkai tandan yang akan disadap. Harapan yang sama, pukulan dan tepukan lembut diharapkan melancarkan curahan nira.
Secara keilmuan, tepukan, goyangan pelan ini akan membuka pembuluh tapis. Menstimulir aliran nira ke bagian yang disayat disadap. Pengetahuan lokal yang menjadi sendi kearifan lokal. Memperlakukan tanaman Aren sebagai pribadi/individu untuk mendapatkan nira yang memadai. Setiap usaha dibarengi doa permohonan kepada Sang Maha Pemberi.
Sepenggal pesan pohon Aren penjaga lereng bagi kita semua. Semoga manisnya gula Aren lestari di indera pencecap kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H