Pujangga bersurat, setiap masa memiliki keindahannyasendiri. Awal Nopember, salah satu masa yang saya rindukan. Saatnya pohon Angsana atau sonokembang (Pterocarpus indicus) bermahkotakan bunga kuning. Saatnya ilusi angsana, taburannya laksana confetti hujan 'emas' di Nusantara. Begitu jugakah di kota kecil pun ibukota?
Angsana bahasa alam
Musim tak pernah ingkar janji. Rentang 14 Oktober hingga 9 Nopember adalah mangsa kalima dalam pranata mangsa. Pengetahuan dan kearifan lokal yang tetap berdaya guna. Memiliki candra pancuran emas sumawur ing jagad dengan arti harafiah air mancur keemasan tertabur di alam persada.
Tanaman angsana bagian dari isyarat alam. Tak pernah keliru membaca bahasa alam. Pertengahan Oktober hingga pertengahan Nopember selalu berbunga rimbun. Menyuguhkan bunga kuning berukuran lembut.
Puncak keelokannya adalah saat akhir dharma atau tugas sang bunga. Ditandai dengan melemahnya ikatan dengan pohon induknya. Terpaan angin menggoyangnya. Byuur kelopak bunga kecil ini gugur.
Ilusi angsana, guguran bunga terlihat bagaikan taburan confetti pewarta bahagia. Dapat terlihat layaknya pancuran emas sumawur ing jagad. Taburan keemasan yang berlaku secara universal pada rentang wilayah dengan bujur dan lintang tertentu. Hampir merata di Nusantara.
Mungkin terlihat aneh. Bila cuaca memungkinkan, saya sangat suka berjalan pelan di bawah jajaran pohon angsana di sepanjang jalan ke kebun. Memanjakan diri, mendongak menikmati dompolan bunganya.
Angsana menjalankan darmanya. Menjadi penyerap karbondioksida hasil pernafasan dan sisa pembakaran. Mengurangi polutan produk aktivitas manusia.
Menyerap air tanah dan menguapkannya kembali. Memangkas sebagian siklus panjang air. Menggeser sebagian siklus blue water menjadi green water untuk mengisi pasokan air tanah.
Tak bolehkah dipangkas? Pastinya perlu, untuk keseimbangan pengguna jalan. Mengurangi risiko patah dahan yang mencederai. Bagian dari pemeliharaan lingkungan hijau.