Tuntunan, seindah apapun isinya perlu kemasan dalam penyampaiannya. Tontonan bertujuan menghibur hati para penonton. Kemasan tontonan juga ikut 'menuntun' mewarnai perilaku penonton. Seni ketoprak (kethoprak, bahasa Jawa) merupakan salah satu seni pertunjukan yang bisa diolah disesuaikan dengan situasi.
Tontonan merupakan komoditas yang tak pernah sepi dari pembeli. Tuntunan merupakan hal berharga dalam pembentukan karakter masyarakat. Apa jadinya suatu tontonan tanpa tuntunan? Apalagi malah menyuguhkan 'tuntunan semu' dengan arah yang kurang semestinya. Mari menyoal seni ketoprak dari aspek kemasan tuntunan dalam tontonan.
Ketoprak sebagai tontonan
Menonton ketoprak berarti menikmati suguhan seni secara terpadu. Pementasan sandiwara panggung yang melibatkan seni peran, seni tari, seni suara serta karawitan. Semua pemain berlakon langsung di panggung tanpa ada rekaman maupun pengisian suara.
Tak ayal ketoprak menjadi tontonan yang memikat. Kemegahan panggung, dekor kelir yang dikerek bergantian sesuai suasana adegan, gemerlapnya busana pemain terlihat sejak awal. Kegesitan gerak prajurit, tarian gemulai pada saat karonsih, intonasi dan dinamisasi suara pemain, membuat penonton enggan beranjak hingga pertunjukan selesai. Muncul sebutan bintang panggung, selebritis ketoprak.
Sungguh, pada masanya ketoprak menjadi tontonan yang dinanti. Suasana sekilas mirip dengan pagelaran wayang orang. Namun, ketoprak terasa lebih 'cair'. Lakon yang digarap tidak menggunakan pakem wiracarita Mahabarata maupun Ramayana.
Mendasarkan pada lakon sejarah, cerita rakyat hingga anggitan gagrak anyar yang bersifat kontemporer. Ketoprak menjadi tontonan rakyat, memiliki kedekatan dengan penonton. Menjadi cerminan suasana hidup kemasyarakatan.
Ketoprak juga memiliki sifat mobile, gedung pertunjukan seolah portable dan pementasan tak menetap pada suatu tempat. Rombongan ketoprak dengan segala propertinya bergerak antar tempat. Manggung beberapa hari dan pindah ke tempat lain. Kawasan bermukim sementara layaknya tobong menjadi tontonan tersendiri bagi masyarakat sekitar.
Setiap pertunjukan memiliki zaman keemasannya sendiri. Kini tak semua orang mau menikmati ketoprak. Bahkan pada pertunjukan gratispun, panitia memerlukan usaha promosi publikasi untuk menghadirkan penonton.
Lalu, bagaimana ketoprak sebagai tontonan tradisional tetap mampu eksis di era digital? Tentunya dengan salin rupa seperlunya tanpa kehilangan esensinya. Saya pernah menyajikannya dalam artikel efektivitas ketoprak sebagai media komunikasi tradisional di era digital.
Ketoprak sebagai wadah tuntunan