Dongeng uthak-uthak ugel
Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kami kruntelan di dekat Bapak yang mendongeng.....
.... Uthak uthak ugel, nyengkelit kudhi bujel.....
"Hendak kemana, kek?"
"Hendak mengambil buah elo"
"Ini ada satu piring mau, Kek?"
"Emoh, kurang ..."
"Sekeranjang mau"
"Emoh, maunya satu pohon"
**
.... Uthak uthak ugel, nyengkelit kudhi bujel....
"Hendak ke mana, kek?"
"Hendak mencari minum"
"Ini ada segelas mau, Kek?"
"Emoh, kurang ..."
"Sekendhi mau"
"Emoh, maunya satu sungai"
**
Pada akhirnya uthak uthak ugel ini mati karena perutnya meletus. Buah elo satu pohon dan volume air sungai melebihi kapasitas perutnya. Mulut kami selalu menganga takjub setengah lega meski cerita ini berulang kali didongengkan tanpa bosan.
Saya merasa itu semua adalah dongeng, cara Bapak menenangkan kami agar tidak gaduh. Juga membujuk agar segera tidur saat malam menjelang. Suatu kewajaran orang tua mendongengi anak-anaknya.
Kini memandangnya dalam bingkai berbeda. Cara Bapak mengajar budi pekerti secara tidak langsung. When enough is enough..., menakar kebutuhan dan keinginan. Bila perlu sepiring atau sekeranjang mengapa harus sepohon. Perlu yang bergeser menjadi ingin dan menjadi benih keserakahan.