Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Belajar Kearifan Lokal dari Gendhuk Limbuk

28 Januari 2019   21:56 Diperbarui: 29 Januari 2019   03:21 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Limbuk (sumber: wayangku.id)

Salah satu tokoh favorit saya adalah non Limbuk. Beberapa sahabat, mencuit mengapa tidak memilih tokoh pewayangan yang agak wah. Eits tunggu dulu, non eh Gendhuk Limbuk ini juga istimewa loh. Mari simak kisahnya.

Gendhuk Limbuk hamba istimewa

Gendhuk Limbuk dijumpai di pewayangan Jawa. Berkedudukan khusus sebagai emban, dayang ataupun rewang alias abdi yang khusus membantu di kaputren (kaputrian). Namun sesungguhnya Gendhuk Limbuk bukan abdi yang disuruh-suruh melulu. Semacam hamba yang istimewa.

Kedudukannya mengandung unsur para panakawan. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong yang mendampingi klan Pandawa ataupun Togog Tejamantri pembisik kebenaran bagi klan Kurawa. Bila keluarga Semar dan Togog berada di jalur kasatriyan, Gendhuk Limbuk dan Simbok Cangik menggawangi jagad kaputren, keseimbangan gender yang dirakit elok oleh dunia pedalangan.

Berada di seputaran ring satu kaputren, Gendhuk Limbuk memiliki akses luar biasa kepada putri-putri pinunjul kerajaan. Kedudukannya sebagai emban membuat para puteri merasa aman sehingga sering diajak rasan-rasan semacam curhat. Meski berkelas abdi yang tergolong rendahan, Gendhuk Limbuk dididik memiliki pekerti luhur. Pintar mendengar, menyaring, menyimpan rahasia dan pada saat yang tepat memberikan masukan sesuai dengan daya nalarnya.

Sebagai rewang, dia memahami tugasnya adalah ngrewangi alias membantu, yah membantu mengurangi kegalauan momongannya, membantu atur saran bagi bendaranya. Dalam pagelaran seni, sesi Limbukan menjadikan suasana gayeng.

Penggambaran secara fisik, Gendhuk Limbuk ini berusia muda sebagai anak Simbok Cangik. Anak tidak hanya menggambarkan hubungan kekerabatan secara biologis, bisa juga bermakna anak asuh alias murid kehidupan. Menyandang status muda dalam pengalaman, Gendhuk Limbuk memiliki 'kebebasan gerak' yang menguntungkan.

Sewaktu berbicara kurang unggah-ungguh ataupun daya nalar kurang komprehensif sah-sah saja, lha wong masih berstatus cantrik murid kehidupan. Gaya bahasanya suka ceplas-ceplos membuat gemas dan kadang geregetan. Gaya bahasanya yang khas yang tidak perlu membuat pendengarnya mengernyit ataupun meradang.

Badannya juga digambarkan tambun, penggambaran masa penataan diri masih nguja nafsu duniawi. Belum mengurangi dahar lan nendra (makan dan tidur) sebagaimana Mbok Cangik yang digambarkan dengan badan semampai dan penampilan lebih luruh sabar. Penampilanpun boleh menor dengan dandanan tabrak sana-sini bagian dari proses pencarian jati diri.

Gendhuk Limbuk simbol keseharian dalam balutan kearifan lokal

Gendhuk Limbuk juga merupakan simbol keseharian, betapa setiap titah adalah Limbuk kehidupan, ada di setiap keaadaan. Bagaimana menjaga amanah dalam kesederhanaan, kesetiaan, bertutur dan bertindak sesuai kemampuan diri. Menata bebrayan masyarakat agung dimulai dari keluarga inti bahkan diri sendiri. Secara agregat kinerja Gendhuk Limbuk bermuara pada murih raharjaning nagari (demi kejayaan bangsa).

Pendek kata, Gendhuk Limbuk sangat menikmati menjadi diri sendiri, bisa mengekspresikan diri sesuai kondisi. Saat Gendhuk Limbuk bercerita tentang Dewi junjungannya itu lahir dari amatan kedekatannya. Keuntungan dari menjadi hamba di kaputren.

Bila sok bijak menyoal lingkungan baik secara sosial maupun lingkungan hidup secara fisik. Itu pula muncul dari 'sok gaya' ikut membaca di perpustakaan kaputren maupun mendengar paparan Dewi Saraswati simbol dewi pengetahuan yang dikaguminya. Nah Limbuk-pun melek literasi.

Ada kalanya Limbuk ikut manggut-manggut pertanda babar plas tidak mengerti, saat kerabatnya menyoal politik. Hanya karena junjungannya berbagi ilmu kenegaraan. Menurut Dewi Wara Srikandi, politik bukan hanya urusan para petinggi. Semua kawula hamba sahaya juga berperan serta menentukan merah hijaunya negara.

Budaya luhur bangsa Indonesia luar biasa. Betapa para pujangga menata pembelajaran melalui simbolisasi. Keberadaan Gendhuk Limbuk digunakan sebagai media pengajaran berbalut kearifan lokal. Mengantarkan nilai-nilai kehidupan tanpa kesan menggurui.

Belajar kearifan lokal dari Gendhuk Limbuk (dok pri)
Belajar kearifan lokal dari Gendhuk Limbuk (dok pri)
Gendhuk Limbuk Era milenial

Hai guys...., namaku Gendhuk Limbuk. Domisiliku di Kaputren tanpa nama Kota, tanpa kode pos, apalagi koordinat GPS. Mengikuti beberapa medsos loh semisal WA grup, eh sesekali menulis di Kompasiana. Menggunakan medsos secara bertanggung jawab menjadi bagian tata krama bersama.

Sejak dilahirkan umurku tetap saja [tidak bertambah tua, apalagi bertambah muda] Pastinya menurut e-KTP bergender perempuan. Sedang mengikuti penyetaraan belajar di sekolah kebun kehidupan. Sesekali tatap muka, ada kalanya pembelajaran secara daring.

Urusan keluarga, sementara orang menyebutkan Simbok Cangik ibuku [beberapa biyung mengatakan beliau adalah simbok angkatku. Ayahku huk... huk... tidak pernah ada di akte kelahiranku. Mungkin juga aku titisan Dewi Kahyangan sehingga tidak mengikuti alur genetika.

Pengalaman kerja, selama bertahun hingga berabad mengabdi menjadi emban eh hamba di kaputren. Mengikuti aneka pelatihan, meski tanpa sertifikat apalagi menerima tunjangan sertifikasi. Belum pernah menerima kenaikan pangkat yang berarti layaknya debutan hingga maestro seperti di Kompasiana.

Nukilan cerita mengapa saya suka dengan gaya seronok apa adanya dari Gendhuk Limbuk. Memeteraikannya dalam buku coretan. Sah-sah saja berlaku sebagai 'bocah kurang tata' dalam proses belajar. Salam hangat.
Salatiga, 28 Januari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun