Duduk di bangku teras gua di keteduhan pepohonan, menyesap pergolakan hati P. Diponegoro. Beliau adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta. Terlahir dengan nama kecil Mustahar, dengan gelar Bendara Raden Mas Antawirya. Gelar utamanya adalah Bendara Pangeran Harya Diponegara, yang lebih dikenal sebagai Pangeran Diponegoro. [pengingat bahwa adat penamaan di Jawa, memiliki beberapa sebutan nama/tenger sesuai perkembangan umur]
Putra sulung bukan berarti putra mahkota secara genetis. Menyadari kedudukan sebagai putra garwa ampil/selir, P. Diponegoro mengurangi potensi konflik tahta. Beliau tidak berkiprah di dunia politik pemerintahan, lebih dekat dengan kehidupan agama dan masyarakat. Mengambil jarak dengan pusat kekuasaan, beliau tinggal bersama Eyang buyut putrinya, Kanjeng ratu Tegalrejo, permaisuri Sultan Hamengkubuwana I.
Kepekaan kedekatan dengan mayarakat wong cilik, membuatnya merasa muak dengan kesewenangan punggawa Belanda. Mencium gelagat adanya 'anak macan' di dekatnya, Belanda membuat gara-gara dengan pemasangan patok dll. Mulailah dengan ketidaksukaan secara terbuka.
Mengamati terjal dan pejalnya tebing gamping menghadirkan decak. Formasi khas daerah karst atau gamping dengan gejala pelarutan dan pengendapan menyuguhkan pola batuan berlapis. Kekuatan daya tembus akar dari pepohonan di puncak, menyembulkan akar yang hidup dan bergerak pelan menembus kerasnya bebatuan. Tebing gamping terlihat layaknya kanvas dengan guratan perakaran.
Bangga syukur, generasi milenial yang tidak melupakan sejarah, mengekspresikannya dalam bahasa daerah dan menampilkannya dengan teknologi kekinian. Serasa menyaksikan penyerahan tongkat estafet kepemimpinan dari Priyagung Besar P. Diponegoro kepada generasi penerusnya. Mari wisata sejarah. Salam hormat.
Salatiga, 11 Januari 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H