Bertujuan mengurangi kadar tanin yang tinggi, melestarikan dan menonjolkan struktur daun tetap bagus sebagai elemen estetika, mengawetkan agar helaian tidak cepat rapuh. Beberapa potongan daun lontar yang berukuran lebar sekitar 3 cm diuntai menjadi semacam gulungan mirip kipas. Variasi lain, helaian panjang daun lontar disambung dan digulung mirip kaset tempo dulu.
Kini si daun lontar potongan panenan kebun menjadi bagian dari barang seni. Tidak hanya sekedar seni indah namun siap diberi 'isi' yaitu naskah hasil karya para pujangga maupun ulama. Aksara yang ditorehkanpun bervariasi mulai dari huruf Jawa kuna, Jawi maupun Pegon.
[Saat menggunakan mesin ketik masih ada tip ex. Mengetik dengan keyboard komputer ada fasilitas edit. Bila sering mengeluh meleset salah ketik karena tuts yang kecil atau jari yang kebesaran masih dapat diedit dan jauh lebih luas dari bidang tulis di lembar daun lontar.]
Daluang Bukti Peradaban Nusantara
Prof Oman menyatakan, selain daun lontar sebagai alas naskah juga dikenal daluang yang lebih tua dari kertas Eropa sebagai media manuskrip. Bukti nyata bahwa peradaban teknologi media daluang yang lebih awal dari masuknya kertas Eropa.
Kata daluang, mengingatkan pada kata 'dluwang' yang sering disebut oleh Bapak pada masa kanak-kanak kami. Merunut dari bausastra atau kamus bahasa Jawa, dluwang bermakna 'barang tipis sing lumrah ditulisi' atau barang tipis yang biasanya digunakan untuk menulis atau kertas. Kata lain yang digunakan adalah dlancang.
Daluang adalah lembaran tipis yang berasal dari pohon deluang (Broussonetia papyrifera) yang mengalami perendaman dan pengepresan. Proses panjang yang menghasilkan bidang tipis untuk penulisan.
Terbayang liatnya proses pengepresan kulit kayu daluang. Kandungan lignin, lignoselulosa yang tinggi sebagai pelindung kayu membuat kulit kayu bertekstur liat, Pengerjaan berikutnya senada dengan mengukir huruf menjadi kalimat dan karya sastra bernilai tinggi.