Menemani para sahabat mengunjungi Kabupaten Grobogan, mendapat bonus berkunjung ke Situs Cagar Budaya Ki Ageng Selo. Tepatnya di Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Berjarak sekitar 10 km ke arah Timur di jalur Wirosari. Mendapat pembelajaran dari sehelai daun gandrik yang menarik.
Situs Cagar Budaya Budaya Ki Ageng Selo
Situs benda cagar budaya (BCB) Ki Ageng Selo memiliki No. Inventarisasi: Â 11-15/Gbo/2013/TB/01. Kawasan ini memuat 3 komponen utama yaitu Masjid Ki Ageng Selo, Makam Ki Ageng Selo dan Tanah Magersari.
Status Pengelolaan: Karaton Surakarta Hadiningrat. Mengingat Ki Ageng Selo adalah leluhur raja-raja Pajang dan Mataram. Penanda sepasang pohon sawo kecik di halaman depan menaungi ruang parkir mengingatkan pada tata halaman keraton di Surakarta maupun Yogyakarta.
Memasuki halaman kawasan pengunjung akan berhadapan dengan Masjid Ki Ageng Selo yang menghadap ke Timur. Masjid memiliki atap tumpang dan sebagian besar komponen bangunan terbuat dari kayu, terutama bagian dinding ruang utama dan tiang.
Cukup banyak pengunjung wisata cagar budaya yang bernuansa wisata religi ini bersembahyang di masjid ini. Juga terdapat kalender kegiatan religi yang ditata oleh bagian keraton Surakarta.
Memasuki kawasan lebih dalam melewati pintu di sebelah kanan masjid. Terdapat pos administrasi tanda masuk. Mendongak ke atas terpampang pepali atau larangan Ki Ageng Selo yang dinarasikan dalam Dandanggula salah satu jenis sekar macapat.
Ki Ageng Selo, Penghubung antara Majapahit dan Pajang Mataram
Dari sejumlah telaah, Ki Ageng Selo merupakan keturunan dari Prabu Brawijaya ke V. Silsilah di dinding pendapa menunjukkan garis keturunan Ki Ageng Selo yang menjadi awal dari Kerajaan Pajang dan Mataram. Pun kaitan antara kerajaan Demak Bintaro.
Secara geografis akan menarik untuk ditarik garis penghubung antara kejayaan kerajaan Majapahit di Jawa Timur dengan kerajaan Demak, Jawa Tengah Utara. Mengalir ke Pajang Surakarta hingga Mataram, Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara religi, terjadi peralihan dari warna Hindu menjadi Islam.
Dengan amatan jernih, keterkaitan antara sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama maupun budaya terangkum di pendapa ini. Sayang sekali kalau pengunjung melewatkannya.
Ki Ageng Selo Penjinak Petir
Salah satu kisah yang melekat dalam ingatan dari masa kanak-kanak melalui dongeng Bapak adalah Ki Ageng Selo sang penjinak petir. Ki Ageng Selo hidup dengan cara bertani dan sangat mencintai para dulur tani kerabatnya. Banyak petani mengeluh karena gangguan petir. Sawah yang semula sumber berkah, menjadi sawah udreg, penuh intrik karena adanya gangguan.
Ki Ageng Selo, mendengarkan keluhan rakyatnya, mendatangi sumber masalahnya yaitu petir yang kala itu menyaru rupa menjadi seorang kakek tua. Mata batin sang pemimpin melihat dengan awas agar terlepas dari jerat hoaks. Sstt ..... ditangkapnya sang petir dan diikatkannya pada pohon gandrik agar tidak mengganggu petani.
Lah koq sekarang masih ada petir? Konon sang petir dapat dijinakkan asal dikerangkeng dengan kondisi tanpa minum. Saat penjaga lengah tetiba seorang nenek mendekati kerangkeng dan memberi minum kakek tawanan. Pantangan dilanggar, lepaslah petir hingga kini.
Setiap sejarah dibarengi dengan kisah hikayat. Pastinya terkandung pembelajaran kearifan lokal didalamnya. Asalkan kita mau mengupasnya.
Makam Ki Ageng Selo
Mari lanjut ke bagian yang lebih dalam, melalui lanjutan selasar. Bagian terdalam adalah bangunan makam Ki Ageng Selo. Begitu banyak peziarah yang berada di kompleks ini sehingga mari bersama menjaga ketenangan untuk menghormati pengunjung.
Memutari bangunan makam di serambi bagian belakang, pengunjung akan berjumpa dengan almari yang digunakan sebagai penyimpan petir.
Sehelai Daun Gandrik dari Cagar Budaya Ki Ageng Selo
1. Memang kami tidak memetik daun gandrik, namun membawa rasa penasaran untuk mengetahui nama tanaman yang disebut gandrik ini. Ada runutan nama tanaman kandri, bagaimana mampu menangkal petir atau electrical discharge berkenaan dengan sifat perakarannya sehingga pohon bersifat ground saat terjadi loncatan listrik.
2. Ada lagi ulasan yang mengulik mengikat petir pada pohon adalah masalah pengendalian diri. Penggunaan keutamaan, keunggulan untuk kesejahteraan bersama. Atraksi menangkap petir oleh Ki Ageng Selo bukan masalah unjuk kesaktian, namun bagaimana menggunakan kesaktian untuk menyelamatkan para dulur alias rakyat yang beliau pimpin.
3. Apabila petir lolos dari kurungan Ki Ageng Selo, tentunya untuk memberi kesempatan generasi penerus menjinakkan petir ataupun mengubahnya menjadi sesuatu yang berguna bagi kemaslahatan bersama. Satu sambaran petir memiliki energi sebesar kira-kira 20000 Ampere.
Bila energi berdasarkan biomasa, bahan bakar minyak termasuk gas, panas bumi atau geothermal, mikro hidro maupun angin sudah dikulik. Energi listrik berasal dari petir ini berpotensi dikembangkan sebagai pembangkit listrik. Potensi petir untuk kebutuhan listrik.
Saatnya melakukan pendataan, pemetaan kawasan kaya petir. Mendekati sumber bahaya dan merangkulnya menjadi sumber bahagia. Kiranya semangat Ki Ageng Selo menginspirasi kiprah teruna bangsa.
Sehelai Daun Gandrik dari Cagar Budaya Ki Ageng Selo, Grobogan. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H