"Ndhuk Mileniawati, kenapa koq wajahmu cemberut, sedang galau ya?"
"Ah Simbok Limbuk. Lagi suntuk saja, Mbok. Setiap hari menyapu halaman berpasir di bawah pohon kecik. Hiburannya menatap Panggung Sangga Buwana yang membisu dan Songsong Gula Kelapa yang kian memudar"
"Eits, sebagai abdi dalem keraton Surakarta Hadiningrat, kita beruntung loh setiap hari belajar dari pasir berbisik di bawah pohon kecik, Panggung Sangga Buwana dan Songsong Gula Kelapa. Mau mendengar dongeng yang simbok dapat dari Simbah Buyut?"
Pasir berbisik di bawah pohon kecik
Menapaki halaman keraton, setiap pengunjung akan disambut oleh hamparan pasir gemersik di keteduhan jajaran pohon sawo kecik. Secara etnobotani, tanaman sawo kecik menempati arti khusus bagi keraton baik Surakarta maupun Ngayogyakarta.
Hamparan pasir di halaman keraton yang berasal dari pantai Parangkusuma laut Selatan. Representasi keterkaitan antara pangarsaning nagari (penguasa wilayah) dengan laut Selatan. Terdengar mistis, namun mengandung pengakuan bahwa kejayaan suatu negeri bergantung pada pengelolaan sumberdaya alam, dalam hal ini kejayaan bahari.
Pasir memiliki sifat dasar lepas tidak mampu mengikat. Bagi ahli bangunan, pasir memiliki plastisitas serta kemampuan memegang air yang rendah. Harus dipadu dengan material lain untuk mengokohkan struktur bangunan.
Pasir dapat dimaknai dengan sifat tidak melik atau menginginkan yang bukan haknya. Pasir harus bersinergi dengan material lain untuk menyusun kekuatan.
Sawo kecik di hamparan pasir, bisa jadi memuat sintesis, memiliki motivasi yang baik dan tidak melik. Bagi para abdi dalem hingga penguasa filosofi sawo kecik di hamparan pasir dapat dimaknai sebagai energi positif atau malah menjadi beban.
Panggung Sangga Buwana