Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ketika Angsana Berbunga, Pancuran Mas Sumawur ing Jagad dan Pranata Mangsa

25 Oktober 2017   18:46 Diperbarui: 25 Oktober 2017   20:35 3250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Angsana Menguning Emas (dok pri)

Mangsa Kalima

Setiap musim mempersembahkan keelokannya masing-masing, begitu wejangan para sepuh. Seperti saat ini di jelang akhir Oktober, berdasarkan prisma pranata mangsa berada di rentang masa kalima antara 13 Oktober hingga 9 Nopember, episode terakhir dari mangsa semplah atau periode putus asa/harapan.

Prisma Pranata Mangsa (sumber:http://pertanianpurworejo.blogspot.com/2012/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html)
Prisma Pranata Mangsa (sumber:http://pertanianpurworejo.blogspot.com/2012/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html)
Setiap musim memiliki pasangan, mari kita lihat mangsa semplah (periode putus harapan) berpasangan dengan mangsa pengarep-arep (periode berpengharapan), mangsa terang (periode kemarau) dengan mangsa udan (periode hujan). Saya sering merasa bahwa pembagian pranata mangsa (ketentuan musim) wujud kearifan lokal leluhur kita membuat Nusantara serasa 'empat musim' atau empat mangsa.

Bagaimana karakter masa kalima di rentang Oktober hingga 9 Nopember? Mangsa ini disebut dengan manggakala, dengan mangsa utama labuh-semplah. Labuh merujuk pada awal musim penghujan, periode putus harapan hampir berakhir dengan datangnya musim hujan. Sebagai candra masa ini adalah Pancuran Mas Sumawur ing Jagad (pancuran emas menyirami dunia).

Sebagai penciri adalah mulai ada hujan besar. Hujan menumbuhkan tunas muda pohon asam Jawa, hujan membangunkan tanaman empon-empon semisal lempuyang dan temu kunci menyembulkan tunasnya. Hujan juga mengusik laron keluar dari sarangnya. Betapa cermat leluhur kita mengamati dan niteni pertanda. Masa ini menjadi penanda saatnya petani mulai memperbaiki selokan di pinggiran sawah, saatnya benih mulai disebar.

Hujan dilambangkan sebagai emas, berkah yang sangat berharga. Menghidupkan tanah gersang, mencukupkan kesediaan pangan. Sekaligus pengingat bahwa di sisi berkah ada tanggung jawab karena hujan juga bisa menjadi pengungkit bencana seperti pada masa kapitu antara akhir Desember hingga awal Pebruari yang dicandra Wisa kentir ing maruta (racun hanyut bersama angin) banyak terjadi penyakit yang ditandai dengan hujan deras dan potensi sungai banjir.

Leluhur kita mempergunakan penanda alam untuk melaksanakan kegiatannya, bermitra dengan alam untuk mengelolanya demi kesejahteraan bersama. Apakah tatanan ini kini sudah usang? Bagaimana perubahan iklim global mempengaruhi tatanan ini? Kalau leluhur kita mempergunakan pendekatan pengamatan, ilmu titen dan mengimplementasikannya dalam kegiatan berolah bumi, bukankah pendekatan ini masih tetap relevan dengan kekinian? Tentunya yang berbeda adalah ketersediaan data maupun metodenya yang mestinya kekinian sesuai dengan gaya zaman now. Pun ada kalanya manusia tidak hanya menyelaraskan diri dengan alam namun memodifikasi lingkungan mikro sesuai dengan kepentingan, tentunya dengan tetap menempatkan diri manusia sebagai bagian dari alam.

Pancuran Mas Sumawur ing Jagad (pancuran emas menyirami dunia)

Bagi saya pribadi masa kalima dengan candra Pancuran Mas Sumawur ing Jagad (pancuran emas menyirami dunia) selalu menghadirkan nuansa khas. Saat penduduk bumi belahan Utara khatulistiwa riuh menyambut musim gugur, mari sempatkan mengamati lingkungan sekitar kita.

Periode ini adalah saatnya pohon Angsana atau Sonokembang (Pterocarpus indicus) yang banyak ditepian jalan raya menyembulkan mahkota kuningnya. Dari kerimbunan hijau atau bahkan ranting meranggasnya muncul kuncup bunga. Seiring waktu terjadi perubahan dari hijau kekuningan lalu kuning kehijauan hingga kuning merona keemasan.

Angsana dari hijau kekuningan hingga kuning keemasan (dok pri)
Angsana dari hijau kekuningan hingga kuning keemasan (dok pri)
Hembusan angin akan menggoyang tangkai bunga, meluruhkan bunganya dengan gerakan kemleyang cantik. Taburan bunga angsana warna kuning keemasan menyuguhkan kemewahan luar biasa serasa taburan confetti emas angsana. Memateraikan penanda masa kalima pancuran emas sumawur ing jagad. Betapa penduduk daerah tropis diberi kesempatan berjalan di atas karpet keemasan alami.
Karpet keemasan taburan angsana (dok pri)
Karpet keemasan taburan angsana (dok pri)
Menikmati taburan angsana ini mengingatkan pada tradisi kita sebagai bagian rumpun bangsa Melayu yang menaburkan beras kuning pada masa-masa bahagia. Saat pengantin pun saat wisuda. Tak hanya bangsa Timur, penduduk di belahan Barat juga melaksanakan tradisi siraman confetti keemasan pada suasana bahagia. Tebaran beras kuning maupun confetti keemasan sebagai perlambang doa harapan kemakmuran.
Angsana kuning bersanding (dok pri)
Angsana kuning bersanding (dok pri)
Pancuran Mas Sumawur ing Jagad menjadi pengingat betapa musim selalu berganti, setiap masa menyuguhkan keelokannya, melimpahkan rezeki kemakmuran bagi setiap titah yang menjaga bumi secara arif bijaksana. Selamat menikmati taburan angsana di masa kalima Pancuran Mas Sumawur ing Jagad.

Salatiga, 25 Oktober 2017

Salam, Prih

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun