Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Suatu Senja di Alun-alun Kota Batu

6 Agustus 2017   22:44 Diperbarui: 13 Agustus 2017   19:05 1691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Susu Ganesha Alun-alun Kota Batu (dok pri)

Kota Batu, kota wisata yang tidak pernah membuat bosan. Secara alami, kota yang berhawa sejuk ini memang memikat. Tak pelak julukan De Kleine Zwitserland atau Swiss Kecil di Pulau Jawa disematkan oleh bangsa Belanda kepada kota ini. Tak hanya mengandalkan keindahan alam, kini kota Batu semakin berbenah dengan menambah obyek wisata.

Senja kala adalah bagian siklus waktu yang menarik, saat peralihan dari gegap siang ke senyapnya malam. Secara alami bioritme tubuh menyesuaikan kosmis bumi. Senja saatnya rehat, waktu mengajarkan saat titah melupakan rehat kala senja akan menjadi mangsa sang kala. Selain rehat bersama keluarga tercinta di rumah, dimanakah tempat yang nyaman untuk sejenak rehat bersama kerabat?

Alun-alun ya alun-alun. Itu pula yang kami tuju saat bersama ibu-ibu dasawisma berwisata ke Kota Batu. Alun-alun perwujudan ruang terbuka hijau untuk publik. Alun-alun menjadi jujugan wisata di banyak kota, bahkan kota-kota lama di banyak negara menjual wisata alun-alun sebagai komoditas andalannya. Berkunjung ke alun-alun yang identik dengan 'rumah warga' serasa menjadi bagian dari masyarakat yang daerah yang kita singgahi. Pada umumnya komposisi alun-alun sebagai ruang 'paseban' terbuka dekat dengan pusat pemerintahan religi semisal masjid agung ataupun rumah ibadah yang lain, berdekatan dengan pusat pemerintahan eksekutif semisal kantor Bupati ataupun Wali Kota.

Apa yang bisa dinikmati saat perkunjungan senja di alun-alun Kota Batu?

Masjid Agung An Nuur. Sholat Maghrib di masjid agung Kota Batu, itulah yang dilakukan oleh beberapa sahabat. Masjid yang dibangun sejak zaman penjajahan Belanda dan telah mengalami beberapa kali renovasi, kini tampil megah anggun menjadi kebanggaan warga Kota Batu. Berada di pusat kota disamping alun-alun kota wisata, masjid agung ini juga ramah pengunjung.

Masjid Agung Kota Batu (dok pri)
Masjid Agung Kota Batu (dok pri)
Menyesap aura alun-alun.  Gambaran alun-alun dengan bianglala megah, apel raksasa ikon kota Batu dan berlatar G. Panderman dengan bentang lahan yang khas adalah keelokan alun-alun kota Batu. Saat kunjungan senja gemerlap alun-alun menghangatkan suasana. Masuk ke area alun-alun, melangkah ke beberapa sudut perhentian, terhisap pada hingar bingarnya pengunjung. Sungguh terasa kegunaan alun-alun sebagai perekat komunitas. Aneka ragam pengunjung saling membentuk lingkaran kecil, interaksi antar pengunjung serta pengunjung dan alam lingkungannya terbuhul di areal ini.

Apel raksasa pewakil Apel Batu jenis manalagi, anna maupun rome beauty. Kota Batu juga dikenal sebagai kota apel. Apel manalagi (Malus domestica Borkh kultivar batu manalagi) adalah flora identitas Kabupaten Malang. Awalnya wilayah Batu adalah bagian dari kabupaten Malang, yang kemudian meningkat menjadi kota administratif dan kini menjadi Kota Batu yang terpisah pengelolaan pemerintahannya dari Kabupaten Malang. Berdasarkan Statistik Daerah Kota Batu2016, pada tahun 2015 populasi tanaman apel di Kota Batu sebanyak 1,1 juta pohon mampu menghasilkan buah apel sebanyak 671,2 ton.

Apel ikon Kota Batu dan Bianglala (dok pri)
Apel ikon Kota Batu dan Bianglala (dok pri)
Perpaduan ikon apel dan bianglala raksasa di alun-alun kota Batu seolah pernyataan potensi lokal apel Batu yang menjadi produsen utama apel Jawa Timur mampu menggerakkan roda perekonomian Batu hingga tingkat nasional.

Kuliner Pos Ketan Legenda 1967. Saat bertanya kepada pedagang di pojokan alun-alun, ditunjukkan arah ke gerai ketan dengan pesan, antri sejak maghrib akan mendapat giliran mencicip lezatnya ketan saat isya. Menggambarkan ramainya pembeli, lantas surutkah minat kami? Penganan ini sudah melekat di angan-angan kami harus dicoba di tempat aslinya meski harus mengikuti antrian. Syukurlah antrian hanya sekian puluh. Pengantri di kasir akan membayar pesanan dan mendapat no panggilan, semisal no xx makan di tempat dan no xy bungkus. Serasa panggilan antrian obat di apotek. Eh bukankah ketan juga obat lapar ya.

Pos Ketan Legenda Alun-alun Batu (dok pri)
Pos Ketan Legenda Alun-alun Batu (dok pri)
Sensasi ketan legenda di lereng pegunungan ini serasa makan jadah tempe di Kaliurang lereng G. Merapi. Hangat dan legitnya ketan menjadikan perut terasa tenang menghadapi udara dingin pegunungan. Hakekat ketan dengan butiran yang saling melekat juga menggambarkan eratnya persaudaraan masyarakat gunung. Selain sajian konvensional ketan dengan taburan kelapa parut dan bubuk kedelai gurih, kami juga mencoba ketan campur, ketan keju, ketan ayam pedas hingga ketan durian dan semuanya maknyuss.

Rumah Susu Ganesha. Antrian panjang persis di depan antrian panjang ketan legenda, menarik perhatian saya. Apalagi setiap pengunjung yang keluar dari gerai tersebut membawa tentengan susu. Itulah rumah susu ganesha dengan produk susu segar kemasan maupun sajian hangat serta produk olahannya. Potensi lokal Kota Batu sebagai daerah penghasil susu yang dikemas apik sebagai pengungkit ekonomi. Penanda nama ganesha juga peneguh ikatan sejarah dengan Singosari. Yoghurt dari gerai ini sungguh enak, kami mencoba varian moka, durian dan vanila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun