Waktu menunjukkan pukul 18.30an saat bus yang mengangkut teruna kebun parkir di pom bensin Sukolilo Pati. Berendeng kami menyusuri jalan raya sepi berpagar hutan jati di bawah rintik hujan. Ruas jalan yang kami lalui dengan penerangan lampu kendaraan yang berpapasan dan sesekali menciprati kami dengan air genangan yang terlindas ban.
“Teruna kebun dari Salatiga?” sapa seseorang dalam kegelapan persis di sebelah jembatan. “Mari, sedulur sikep Sukolilo yang lain telah menanti di pendapa atas” arahnya sambil memainkan senter ke kegelapan lereng dengan pepohonan lebat. Tanpa komando, teruna kebun yang berbadan lebih kekar memencar diselingi para sahabat lain untuk saling berbimbingan melintas jalan setapak beralas bebatuan gamping alami, bersyukur hape dijadikan senter.
“Selamat datang silakan pilih tempat duduk dengan bebas” dengan suara ramah grapyak berbahasa campuran Jawa ngoko, para pemuka sedulur sikep Sukolilo menyambut kami meski kami datang terlambat sekitar 2 jam dari janji. Pendapa besar di tengah kerimbunan alam, kang Gun Retno, Yu Guntarti tokoh muda kharismatik beserta sedulur sikep lain dari Kudus, 2 teruna setempat petugas dokumentasi dengan kamera dan video canggihnya. Perpaduan alami dan kemajuan teknologi informasi komunikasi di lereng pegunungan Kendeng Selatan yang menyergap rasa ingin tahu kami.
[Kunjungan Oktober’16 ini melengkapi kunjungan kepada sedulur sikep di dusun Blimbing, Desa Sambongrejo Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora di Januari’16 lalu]
Sedulur sikep adalah sebutan bagi para pengikut tohoh mbah Samin Soerosentika yang tersebar di Kab Pati, Blora dan Bojonegoro. Predikat wong Samin, pembangkang dan sejumlah konotasi negatif sering melahirkan sikap underestimate dan mengabaikan kearifan lokal yang sungguh berharga dari para sedulur sikep ini. Kembali bahasan tentang samin dan sedulur sikep, banyak tersedia referensi yang mengulasnya. Postingan ini hanya memotret obrolan santai sejenak dengan beliau-beliau.
Menurut Kang Gun Retno dan Yu Gunarti tujuan hidup sedulur sikep khususnya Sukolilo Pati adalah ucap, perilaku serta kegiatan tani mengelola alam yang baik. Mereka berperisaikan pantangan dengki, srei, dahwen, kemeren dan panasten. Menurut beliau, anak-anak sedulur sikep Sukolilo, kalau ditanya:
“di mana sekolahmu?”
“neng ngomah, neng sawah” (di rumah , di sawah)
“siapa gurumu?”
“bapakku”
Meski masih ingin ngobrol lama, pukul 20.30an pun kami undur diri pamitan, dengan harapan lain kali datang lagi di siang hari. Tukang kebun ingin belajar langsung di kebun sedulur sikep bagaimana mereka mengelola alam gunung gamping untuk kesejahteraan keluarga seraya menjaga kelestariannya. Yook lanjut naik bus lagi dan puji Tuhan sampai dengan selamat di Salatiga lewat tengah malam pukul 00.30. Terima kasih sedulur sikep Sukolilo.
Terlepas dari teori pendidikan yang melatarbelakanginya, saya mencatat beberapa mutiara kearifan lokal dari sedulur sikep Sukolilo dari pembicaraan ini
- Sekolah neng ngomah…. Lembaga pendidikan yang pertama dan utama adalah di rumah, rumah dalam artian home bukan house. Pembelajaran yang tidak tercerabut dari akarnya, sehingga menyatu dengan kehidupan nyata termasuk cara menyikapi interaksi dengan dunia luar. Eits para sedulur sikep juga memiliki dan mempergunakan gadget canggih untuk menggali informasi maupun komunikasi, mempergunakan alat mekanisasi secara selektif untuk meningkatkan produksi pertanian mereka loh.
- Sekolah neng sawah…. Hakekat sekolah alam. Alam raya adalah universitas kehidupan nyata, mereka mempergunakan tanda alam, investigasi sumberdaya alam semisal sumber air di daerah karst pegunungan Kendeng ini dan mempergunakannya secara bijak agar berkesinambungan. Sesaat saya teringat dengan kearifan urang Minang, alam takambang jadikan guru
- Hakekat belajar adalah proses perubahan perilaku. Perbaikan ucap, perilaku serta kegiatan tani yang selaras dengan alam, tujuan hidup sedulur sikep Sukolilo adalah perwujudan hakekat belajar. Di dalamnya tercakup ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik.
- Guruku ya bapakku…. Belajar adalah proses mengamati keseharian, meniru dan memperbaiki. Prinsip keteladanan dalam proses belajar. Guru, digugu dan ditiru. Ada kepatuhan dan keteladanan dari sosok yang berwibawa. [Pernyataan ini sungguh menohok kami selaku orang tua, bahwa tokoh panutan utama (role model) anak-anak dalam keluarga adalah orang tuanya]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H