Mohon tunggu...
Nori Yanuarita
Nori Yanuarita Mohon Tunggu... -

love to share about life....idealism no perfectionism..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saritem yang kian terpojok

15 Agustus 2011   05:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:46 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun ke belakang, pemerintahan kota Bandung menginstruksikan agar Saritem ditutup, kaena Bandung harus bebas dari maksiat. Alhasil semua “pekerja” di Saritem pun kalang kabut, karena mereka bingung, praktek prostitusi ditutup, penghasilan pun nihil. Namun, hingga saat ini kegiatan prostitusi tersebut masih menggeliat, meski prakteknya konon lebih “santun” alias mungkin beberapa melakukannya sembunyi-sembunyi. Saat walikota Bandung Dada Rosada mengutarakan beliau mengharapakan sekali Kota Bandung sebagai Kota Agamis. Maka sebagai langkah konkretnya ia mengupayakan agar Kota Bandung benar-benar bersih dari penyakit masyarakat (pekat), terbebas dari perjudian, penyalahgunaan narkoba,miras dan prostitusi.Ia pun tak segan-segan untuk mencobot jabatan anak buahnya yang terbukti menerima suap dari tempat maksiat.

"Kalau ada oknum aparat atau lurah saya dilapangan, menerima uang haram dari perlindungan praktik prostitusi, harus berhenti dan siap dicopot dari jabatan,” saat audiensi dengan sejumlah ormas Islam yang tergabung dalam forum silaturahmi ormas Islam (FSOI) Kota Bandung, di ruang Arab Pendopo, Jalan Dalem Kaum Bandung, Jumat (15/05 thn 2009)

Dan saat itu Saritem adalah sasarannya. Mengapa harus Saritem?

Saat ini di Bandung kian tumbuh subur dan megah berdiri tempat executive Karaoke lengkap dengan Spa, atau Spa khusus pria yang eksklusif, atau hanya sekedar fasilitas karaoke saja, tapi semuanya itu dilengkapi dengan para pemandu lagu, ataupun wanita-wanita pemijat yang berpakaian sangat vulgar, bukan lagi seksi. Belum lagi, di setiap tempat karaoke tersebut, ada fee booking khusus jika diajak “main” di luar. Bangunannya megah, terang-terangan di tengah kota. Apakah ini bukan memancing maksiat? Bukan praktek prostitusi? Kenapa perijinan nya sangat dimudahkan untuk dibangun? Padahal konon pemerintah setempat menginginkan kota agamis? Kenapa harus Saritem yang menjadi bahan anekdot prostitusi?

Saya hanya menilai, sungguh sangat ironi. Apakah karena transaksi “Saritem” itu tidak mampu menyumbang jumlah besar untuk APBD sehingga keberadaanya terancam ditutup?

Saya rasa, dengan melihat kenyataan yang ada, terlalu prematur menjadikan kota Bandung sebagai kota agamis, bebas maksiat, karena bukan hanya tempat karaoke atau panti pijat saja yang masih megah berdiri, sejumlah tempat ajep-ajep di kawasan mall pun ikut “in”, dalam artian perijinan pembangunannya terbilang mudah untuk acc kan?

Jika ingin bebas prostitusi, pikirkan baik untuk solusi Saritem agar masyarakat sekitar tidak terhantam krisis ekonomi, dan mohon juga perijinan pembangunan tempat hiburan “plus-plus” itu ditiadakan. Yah, mungkin ini adalah seperti fenomena razia di hotel kelas melati, tapi hotel kelas bintang atau grade di atas melati minim razia, seperti secara tidak langsung menasehati, : kalau ga mau kena razia, di hotel kelas bintang aja!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun