"Kalau bisa hidup itu, jadilah orang yang pintar dan benar. Jika harus memilih salah satunya, maka pilihlah menjadi orang benar bukan sebaliknya. Orang benar bisa dipintarkan, tapi orang pintar susah dibenarkan.Karena orang pintar punya mahzab yang sulit terbantahkan yaitu Thariqah Ngeyeliyah".
Kalimat diatas saya tonton dari cuplikan video ustadz ceramah di media sosial yang menggunakan bahasa jawa. Meski tidak dicantumkan namanya dan tiidak termasuk populer, menurut saya isinya sangat relatable dengan fenomena korupsi di Indonesia saat ini.
Pelaku tindak pidana korupsi biasanya adalah orang-orang pintar namun tidak benar. Kenyataannya, Pelaku pidana korupsi sebesar apapun nominalnya walau bisa terjerat hukum, hingga saat ini belum pernah ada yang dijatuhi hukuman mati di Indonesia.
Berbeda dengan kejahatan narkoba dan terorisme yang sudah beberapa episode pelakunya telah dijatuhi hukuman mati. Padahal jika dinilai berdasarkan dampaknya, ketiganya adalah kejahatan luar biasa. Lalu bagaimana membaca pemberantasan korupsi selama ini?Â
Memaafkan Kejahatan dan Mengesampingkan Keadilan Bersenjatakan Kecacatan Logika (Logical Fallacy)
Mengutip Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata pada Peluncuran Desa Antikorupsi melalui Kompasiana (2021), Marwata berujar "Kalau ada kepala desa taruhlah betul terbukti ngambil duit tapi nilainya enggak seberapa, kalau diproses sampai ke pengadilan, biayanya lebih gede,"
Lebih lanjut, Kompasiana menambahkan kesimpulan pernyataan diatas yaitu jika korupsi kecil tidak perlu dipenjara, apakah itu membuat orang yang akan membuat korupsi besar jera? Sebuah kalimat retorik yang dipertanyakan kepada Kompasianer untuk beropini tentang hal ini.
Maka sebelum beropini lebih jauh, maka saya akan memaparkan kecacatan logika dari pernyataan Marwata . Pertama, Nilai nggak seberapa kala kalau diproses sampai ke pengadilan, biayanya lebih gede." Kumpulan kata yang digarisbwawahi adalah bentuk penyepelean dengan kata "nggak seberapa" padahal kejahatan pencurian walaupun tidak seberapa tetaplah disebut kejahatan. Masih ingat kisah seorang nenek yang bernama Minah yang mencuri 3 buah kakao namun tetap dihukum penjara satu setengah bulan?
Bahkan Jaksa mendakwa Mbah Minah dengan telah melakukan pencurian tiga buah kakao seberat tiga kilogram yang menurut perhitungan harganya hanya Rp 2.000 per kilogram saat itu di pasaran. Mbah Minah disangkakan melanggar Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencurian. Sehingga Mbah Minah pun dijatuhi hukuman 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan.
Kisah yang terjadi pada tahun 2009 silam ini bahkan pernah viral dan juga disebutkan oleh Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test di hadapan Komisi III DPR pada Rabu 20 Januari 2021. Jenderal Listyo mengatakan bahwasanya tidak boleh lagi ada hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.