Mohon tunggu...
novy khayra
novy khayra Mohon Tunggu... Penulis - Aspire to inspire

Novy Khusnul Khotimah, S.I.Kom, M.A, SCL - Pegawai Negeri Sipil - Master Universitas Gadjah Mada - Penulis Buku -SDG Certified Leader

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kemunculan Cancel Culture, Apa Konsekuensinya?

9 September 2021   19:31 Diperbarui: 9 September 2021   19:35 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cancel Culture (sumber : https://theamag.com/

Akhir-akhir ini, gerakan boikot/cancel culturemelalui petisi online makin ramai.  Tindakan cancel culture ini dilakukan kebanyakan oleh netizen terhadap tokoh publik / public figure yang umumnya adalah artis. Para netizen ini rata melakukan boikot agar artis tersebut tidak muncul di layar televisi. 

Gerakan boikot yang sekarang sedang ramai adalah terhadap Saiful Jamil dengan alasan tidak pantas seorang mantan napi kejahatan seksual kembali menghibur dihadapan masyarakat. 

Selain itu, ada Ayu Ting-Ting yang diboikot atas alasan melakukan perbuatan tidak sopan karena menendang salah seorang talent. Lalu terdapat Mulan Jamila-Ahmad Dani, Nikita Mirzani, Billy Syahputra dengan alasan tidak pantas untuk konsumsi khalayak Indonesia.

Berdasarkan fenomena tersebut, sebenarnya apa yang melatarbelakangi cancel culture dan apa korelasinya dengan media culture? Apa akibat ektrim dari cancel culture ini?

Membaca Penyebab Cancel Culture di Tanah Air

Cancel culture memiliki makna lain budaya pengenyahan, dimana subyek tidak hanya dikucilkan tapi dikeluarkan dari lingkungan sosial tertentu. Cancel culture yang selama ini booming melalui petisi adalah pengenyahan selebritis dari televisi. Sedangkan cancel culture melalui media sosial adalah pemblokiran/melaporkan beramai kepada pihak pusat pendiri media sosial.

Menurut pengamatan penulis, Cancel culture disebabkan oleh 3 hal:

Pertama, Konvergensi media

Kovergensi media dapat dipahami sebagai fenomena penggabungan media massa dan digital. Penggabungan media ini sangat memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah antara komunikator dan komunikan. 

Sangat berbeda dengan kondisi pada tahun 90-an hingga 2000-an dimanatelevisi merajai dalam mengarahkan tontonan kepada audiens. Karena televisi masih jadi primadona sedang internet masih minim sehingga juga meminimalkan feedback.

Tahun 2020-an hampir tidak mungkin televisi berperilaku sama, karena medium-medium komunikan untuk menyampaikan feedbacknya tidak sebatas mengirim surel kepada redaksi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun