Mohon tunggu...
novy khayra
novy khayra Mohon Tunggu... Penulis - Aspire to inspire

Novy Khusnul Khotimah, S.I.Kom, M.A, SCL - Pegawai Negeri Sipil - Master Universitas Gadjah Mada - Penulis Buku -SDG Certified Leader

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Peribahasa Ada Untuk Meningkatkan Perikemanusiaan

11 Juni 2021   12:16 Diperbarui: 11 Juni 2021   13:13 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pelajaran bahasa / sastra Indonesia terdapat salah satu bab yang memberikan kekayaan pemikiran sebagai bekal kehidupan masa depan pelajar yaitu peribahasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), peribahasa memiliki arti yaitu  kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu (dalam peribahasa termasuk juga bidal, ungkapan, dan perumpamaan).

Poin yang menekankan kiasan ini yang menurut saya adalah bentuk perikemanusiaan dalam berkomunikasi antar sesama manusia. Sebab dalam peribahasa kita bisa mengkritik atau menyindir orang lain agar tahu kekurangan atau kesalahannya tanpa membuatnya merasa dipermalukan. Dengan kata lain, peribahasa merupakan kesepakatan tidak tertulis dalam bersosialisasi dan berkomunikasi antar manusia malalui kiasan.

Saya masih ingat, demi dapat menghafal banyak peribahasa, saat masih SD saya membeli sebuah buku berjudul kumpulan 1000 peribahasa. Alasan  saya sering membacanya adalah demi mendapat nilai yang bagus. Tentunya tidak semua bisa saya ingat sampai hari ini. Meski demikian, ada beberapa peribahasa yang masih saya ingat karena maknanya sering relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Beberapa peribahasa itu antara lain :

Menegakkan benang basah 

Peribahasa yang saya sebutkan diatas memiliki dua makna yaitu "Melakukan pekerjaan yang tidak akan berhasil" atau "melakukan sesuatu yang tidak bisa dikerjakan". Dalam pencarian lain saya juga menemukan arti "membela satu hal yang salah". Dengan kata lain peribahasa lain ingin menegaskan bahwa apa yang dimaksud adalah sia-sia.

Saya sering menggunakan peribahasa ini sebagai komunikasi intrapersonal saya sendiri alias mengkritik diri sendiri. Sadar tidak sadar, saya maupun orang lain diluar sana pasti pernah bahkan sedang menegakkan benang basah. Kita seirng kali melakukan pekerjaan sia-sia seperti over thinking, terlalu memikirkan opini orang, bergosip, berdebat pada hal yang tidak penting, main smartphone atau rebahan terlalu lama. Pekerjaan yang diibaratkan dengan menegakkan benang basah nyatanya adalah hal dekat pada kita semua.

Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak

Sesuai dengan perumpamaannya yaitu kuman yang kecil tapi bisa tampak walau dari seberang laut jauh dan luas. Sedangkan gajah yang notabene hewan darat paling besar didepan tidak tampak. Peribahasa ini memiliki makna bahwa orang memiliki kecenderungan suka mencari-cari kesalahan orang lain sekecil apapun, namun kesalahan sendiri walau besar luput dari perhatiannya.

Peribahasa ini memiliki kemiripan dengan peribahasa lain yaitu "Buruk Muka Cermin dibelah" atau "Tak pandai menari dikatakan lantai terjungkit" Tidak jauh beda dengan arti "kuman diseberang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tak tampak", makna kedua peribahasa tersebut yaitu lebih suka menyalahkan orang lain daripada introspeksi diri sendiri.

Menurut saya banyak fenomena saat ini yang dimana orang-orangnya sesuai dengan makna tersebut. Misalnya ada artis bisa terkenal karena dihujat, hal ini menunjukkan bahwa netizen Indonesia lebih hobi melihat kekurangan orang lain sehingga orang itu layak dihujat daripada introspeksi pada dirinya sendiri. Karena jika netizen berorientasi pada kualitas, seorang artis terkenal harusnya karena karya dan prestasi bukan dari aib dan kontroversinya.

Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian

Peribahasa yang saya sebutkan diatas memiliki makna bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Meski demikian, bila kita cermati secara kata perkata kalimat ini lebih sesuai disebut pantun daripada kiasan. Karena secara makna naik rakit lebih ringan daripada berenang yang memerlukan tenaga. Ya kan?

Terlepas dari kritik saya terhadap peribahasa ini, kebanyakan orang dalam hidup ini kita ingin bersenang-senang saja. Sehingga muncullah budaya hidup instan yang bisa berbahanya bagi kesehatan fisik maupun mental.

 Kehidupan instan misalnya ingin kaya tak mau bekerja sehingga memilih jalan instan seperti mencuri/korupsi, menipu, melacur, menjual narkoba, dsb. Ingin kurus tapi tak berdiet / gaya hidup sehat, sehingga tertipu dengan obat pelangsing yang malah berakibat merusak ginjal.  Keinginan-keinginan untuk hidup enak tanpa disertai dengan kesediaan berjuang/berkorban ini nantinya tidak hanya akan merusak kehidupan seorang individu, namun secara kolektif dapat merusak tatanan masyarakat karena berada dalam budaya yang toxic/beracun.

Masih banyak peribahasa lain yang memiliki makna dalam dan dapat kita manfaatkan sebagai pengingat diri sendiri maupun mengingatkan orang lain. Akan sangat disayangkan bila kita tidak tahu atau tidak bisa mengambil pelajaran serta menerapkan peribahasa secara relevan dengan kehidupan kita sehari-hari karena kemalasan belajar. Padahal, dengan kekayaan kosakata akan membuat komunikasi kita lebih lancar dan lebih menyenangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun