EmosiÂ
Alasan selanjutnya yang membuat penulis membara mengetik di depan laptopnya adalah faktor emosi. Emosi suka atau duka, bagi saya pribadi secara tak sengaja menjadi susunan rima dalam baris kata, puisi, atau prosa. Meskipun awalnya tak bermaksud bersajak ria atau menjadi pujangga. Namun dengan singkronisasi antara hati dan otak, kemudian berubah menjadi puisi atau prosa.
Imajinasi
Berbeda dengan pengetahuan, pengalaman dan emosi yang sudah kita rasakan, imajinasi adalah harapan, keinginan, andai-andai baik itu terjadi pada diri kita sendiri atau tokoh yang sekedar karangan penulis belaka. Dengan kata lain, imajinasi adalah kejadian yang belum atau tidak akan pernah terjadi.
Tulisan yang berasal dari imajinasi misalnya adalah tulisan sastra cerpen, novel, komik, cerbung, skenario, dan tak terkecuali puisi dan prosa. Menulis berdasarkan imajinasi, nyatanya tak hanya menghibur pembacanya, melainkan stress relieve (pelampiasan stress)bagi penulisnnya. Selain juga dapat mendatangkan penghasilan bila laris dibaca dan bila difilmkan. Penulis yang karya inspirasinya berasal dari imajinasi adalah J.K. Rowling melalui Harry Potternya yang fenomenal di dunia.
Ketimpangan (idealisme vs realitas)
Menjadi penulis apapun genrenya, adalah sebuah tantangan untuk menaklukkan diri sendiri dan berusaha berdamai dengan kenyataan dunia luar. Entah bakat alami atau berasal dari bacaan buku orang-orang hebat, kebanyakan penulis terutama penulis kritis adalah mereka yang terinspirasi dari melihat realitas yang tak berjalan senada dengan pemahaman idealisme yang telah dimilikinya. Oleh sebab itu, usaha untuk mendamaikan keduanya adalah dengan menuliskannya yaitu dengan cara merekam realitas dengan perspektif idealisme yang sebisa mungkin dapat melakukan perubahan sosial tanpa menimbulkan kegaduhan yang berarti.
Penulis-penulis yang menjadikan inspirasi ketimpangan sebagai inspirasi dalam sejarah Indonesia antara lain adalah R.A. Kartini, Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, Soe Hok Gie, serta masih banyak lagi tokoh kemerdekaan hingga yang saat ini yang menuliskan ide-ide mereka ke dalam tulisan hingga kemudian menjadi perbuatan yang kolektif terhadap perubahan sosial yang lebih baik.
Jadi menurut saya, mental block yang katanya menjadi hamabatan bagi penulis/ seniman, kemungkinan bisa diatasi bila beracuan dengan yang telah saya paparkan diatas. Seperti bernafas yang menghirup dan menghembuskan udara, demikianpun ilmu. Menghirupnya adalah melalui pengetahuan, pengalaman, emosi, imajinasi, bahkan ketimpangan yang kita alami dan rasakan. Sedangkan mengehembuskannya adalah melalui menulis, melukis, memahat, menggambar, menari, atau apapun yang sebelumnya telah kita filter dengan hati dan pikiran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H