Saya : Apa?
 Teman : Apa yang tidak bisa dilihat itu tidak ada.  Karena aku mempercayai apa yang aku lihat. Sedangkan Tuhan tidak dapat dilihat.
 Saya : Oh begitu.. Aku paham maksudmu. dan aku menghargainya.
 Teman : Akupun juga menghargai keyakinanmu.Â
Lalu kami saling tersenyum dan melanjutkan percakapan lebih jauh lagi tentang negaranya yaitu Spanyol. Kami membahas tren yang berkembang termasuk juga di wilayah negara Eropa lainnya bahwasanya anak muda generasi milenial mulai memiliki kecenderungan menjadi atheis termasuk dia dan teman-temannya. Bahkan tiga adik perempuannya juga mengikuti jejaknya.
 Dari percakapan dengannya saya membayangkan bagaimana kerohanian di Eropa secara umum. Ya, yaitu tidak beragama atau atheis. Keyakinan dasar atheis adalah kamu mempecayai apa yang bisa dilihat, jika tidak bisa dilihat artinya tidak ada. Pemikiran demikian bagi saya tentu tidak sepenuhnya benar.Â
Bukannya Tuhan tidak ada, hanya kita yang terlalu terbatas untuk mencapainya. Sama halnya dengan virus corona, bukankah virus ini tidak bisa dilihat oleh mata telanjang? Meski tak terlihat tapi bukan berarti tidak ada. Corona ada dan bisa dirasakan kehadirannya jika dengan teknologi tertentu corona bisa dilihat dengan mikroskop ukuran nanometer. Saya rasa Tuhan hanya bisa dirasakan kehadirannya dengan hati bukan panca indera.Â
Entah, apakah dengan pandemi ini, teman saya tersebut, penduduk Spanyol, dan penduduk Eropa milenial pada umumnya akan tetap mengingkari keberadaan Tuhan karena tidak bisa dilihat? Wallahu a’lam.Â
Satu hal yang tak bisa diingkari adalah virus corona ini. Ada walau tak terlihat secara kasat mata. Bahwa Spanyol menempati urutan ketiga tertinggi di dunia setelah Amerika Serikat dan Italia.Â
Sampai saat artikel ini saya tulis, Spanyol memiliki kasus positif corona berjumlah 110.000an. Padahal terakhir saya chatting sama teman saya itu baru sampai di kisaran 12 ribu kasus. Apakah ini hukuman Tuhan untuk orang-orang yang tidak meyakin-Nya? Bisa jadi. Tapi saya tidak mau nge-judge atau berprasangka.Â