Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukkan dunia
Berlarilah tanpa lelah
Sampai engkau meraihnya..
Yap, bait-bait tersebut merupakan lirik dari lagu Laskar Pelangi dibawakan oleh grup band Nidji sekaligus menjadi soundtrack film  dengan judul yang sama karya dari novelis kenamaan Andrea Hirata. Oke, di sini tidak akan membahas panjang lebar tentang laskar pelangi.
Secara bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mimpi adalah sesuatu yang dialami saat tidur; angan-angan atau cita-cita. Mimpi adalah hal manusiawi yang pasti dimiliki atau pernah dialami oleh setiap manusia. Tua, muda, laki-laki, ataupun perempuan pasti memilikinya.Â
Terlebih untuk muda-mudi pasti memiliki mimpi yang pastinya menggebu-gebu untuk dipenuhi. Anak-anak memiliki segudang mimpi yang beraneka macam, ada yang ingin menjadi astronot, polisi, pilot, dokter, guru, bahkan pahlawan super. Setelah beranjak remaja pelan tapi pasti mereka mulai menyadari mimpinya akan terwujud apabila mereka berusaha. Salah satunya dengan belajar dan terus sekolah.Â
Nasib baik di Indonesia saat ini pendidikan cukup terjamin dengan adanya jaminan wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintah dan cukup banyak beasiswa untuk golongan tidak mampu. Semua golongan muda-mudi memiliki kesempatan untuk mewujudkan mimpinya bersekolah.
Kenyataannya tidak semanis itu. Bagi muda-mudi di bangsa ini seringkali harus terbentur dengan fakta sosial yang ada di lingkup mereka. Apalagi untuk pemudi alias remaja perempuan cukup berat untuk mewujudkan mimpi di tengah masyarakat yang sangat kental dengan konstruk patriarkhal.
Salah satu instansi terkecil yang paling melingkupi dan melekat adalah keluarga. Meskipun tidak semua, terkadang keluarga memiliki andil yang sangat besar dalam menjatuhkan stigma-stigma yang mencecar perempuan.
Banyak anggapan dari keluarga yang mengatakan "percuma perempuan sekolah tinggi-tinggi nanti ujung-ujungnya akan menjadi ibu rumah tangga; ujung-ujungnya juga dapur, sumur, kasur" dan lainnya. Konstruk bias gender tersbut siap menghempaskan pemudi yang sedang ancang-ancang lepas landas dari mimpinya.Â
Tanpa disadari, hal yang kita pernah saksikan tersebut atau mungkin yang pernah kita alami merupakan wujud dari kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender atau disingkat (KBG) menurut United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) “Sexual and gender-based violence (SGBV) refers to any act that is perpetrated against a person’s will and is based on gender norms and unequal power relationships."
Kekerasan sesksual berbasis gender mengacu pada setiap tindakan yang dilakukan terhadap kehendak seseorang dan didasarkan pada norma-norma gender dan hubungan kekuasaan yang tidak setara. KBG mencakup ancaman kekerasan dan paksaan. KBG dapat bersifat fisik, emosional, psikologis, seksual, juga dapat berupa penolakan sumber daya atau akses ke layanan yang merugikan perempuan, anak perempuan, laki-laki ataupun anak lelaki.
Memang jika dikategorikan sebagai KBG terdengar menyeramkan, tetapi kasus ini yang dianggap sepele dan lumrah di masyarakat termasuk ranah tersebut karena menjadi salah satu bentuk intervensi berdasarkan gender yang dapat merugikan satu pihak
Salah satu bukti yang menunjukkan negara Indonesia adalah negara dengan basis patriarkhal yang mengakar dapat dilihat dalam data angkatan kerja berdasarkan jenis kelamin.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk usia kerja di Indonesia per Febuari 2020 sebanyak 199,4 juta penduduk. Jika dibandingkan dengan Febuari 2019, jumlah penduduk usia kerja tersebut bertambah 2,92 juta. Dilihat pada Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada Febuari 2020 mengalami sedikit penurunan. Jika pada Febuari 2019 TPAK tercatat 69,32%. maka pada Febuari 2020 sebesar 69,17%.
Adapun TPAK berdasarkan jenis kelamin juga masih menunjukkan perbedaan yang cukup dalam. dimana TPAK laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Per Febuari 2020. TPAK perempuan mengalami penurunan 94 poin menjadi 54,06% dibandingkan Febuari 2019 yakni 55,50%.
Data tersebut memperlihatkan posisi perempuan di lingkup kerja cukup banyak tapi tidak banyak. Hal tersebut bisa dilihat di dunia kerja perempuan masih sangat terpinggirkan dalam posisi pekerjaan yang masih didominasi laki-laki.
Mungkin pernah kita menyaksikan adik kita, kakak kita ataupun diri kita sendiri diremehkan oleh orang terdekat kita orangtua sendiri mengenai mimpi yang ingin dicapai. Misalnya 'berdasarkan kisah nyata' seorang remaja perempuan memiliki keinginan untuk Menjadi insinyur dan ingin meneruskan kuliah di jurusan teknik sipil.
 Namun sang ibu beranggapan "buat apa ambil jurusan itu, itu kan jurusan buat cowok; Emangnya mau nanti jadi tukang manjat-manjat gedung". Terdengar rasional bagi seorang ibu yang mencemaskan anak perempuannya. Tetapi itu merupakan salah satu tindakan yang salah dan menjurus pada KBG.Â
Jika kasus KBG seperti di atas terjadi, maka salah satu solusinya adalah intervensi yang mampu mengubah cara pandang pelaku tentang relasi gender dengan sosialisasi ataupun pendidikan untuk orangtua mengenai kesadaran akan kesetaraan gender.
Manusia manapun bebas bermimpi setinggi-tingginya. Mimpi tersebut merupakan salah satu dari Hak Asasi Manusia. UU No.39 Tahun1999 dalam pasal 13 menjelaskan: "Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa dan umat manusia."
Kejar terus mimpimu, jangan biarkan stigma menghempaskanmu muda-mudi Indonesia. Walau dunia tak seindah surga, tapi cinta kita di dunia, selamanya. Maka bebaskan lah mimpimu di angkasa wahai muda-mudi Indonesia. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H