Mohon tunggu...
Novrina Annisaa
Novrina Annisaa Mohon Tunggu... -

Sanguinis koleris,suka baca buku suka diskusi ,suka kuliner, travelling. Pengen suatu hari nanti bisa jadi Mentri ESDM atau dirjen Minerbapabum kalo ternyata g bisa jadi mentrinya, jadi Istrinya mentri aja dah,baru aku mau ngalah untuk di Rumah aja sambil bisnis hohoho. Suka sama orang melankolis koleris coz he can balancing me. nice to meet me.

Selanjutnya

Tutup

Money

Penerapan DMO dan Tantangan yang Dihadapi oleh Industri Pertambangan Nasional

17 Agustus 2010   04:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:58 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Batubara merupakan bahan bakar primadona dalam kurun waktu selama tiga puluh lima tahun dimana sebelumnya pada periode 1994-1999, sumber energi batubara, BBM dan gas bumi dapat bersaing dalam memenuhi kebutuhan energi di pembangkit listrik, karena biaya pembangkitannya relatif masih murah. Saat ini Batubara banyak di gunakan untuk memenuhi supply energi dalam negeri jika di bandingkan dengan kedua sumber energi diatas ,hal ini di karenakanBBM dan gas bumi menurun drastis akibat dari cadangan minyak bumi di Indonesia sudah semakin terbatas diperkirakan akan habis dalam kurun waktu 16 sampai 56 tahun mendatang 1 . Dan pemanfaatan minyak bumi lebih diarahkan untuk memenuhikebutuhan energi sektor transportasi. Produksi batubara nasional yang naik 21 kali lipat selama periode 1990-2008 dimana kenaikan harga batubara tidak se-eksplosif kenaikan harga minyak dan gas bumi,dan karena alasan utama inilah dilaksanakanlah program fast track dalam hal pembangunan PLTU batubara 10.000 MW tahap I dimana Investasi yang di butuhkan sangat besar yakni Rp 86 triliun (Pembangkit dan Transmisi) namun hal ini berbanding lurus dengan dampak positif proyek ini jika sudah rampung dan di implementasikan akan sangat besar. Akibatnya, Pangsa PLTU (yang mana 79% merupakan Uap hasil pembakaran batubara) yang awalnya konstan pada angka 33% meningkat significant menjadi 42% dalam periode 2006-2008. Untuk total pasokan energi primer di Indonesia pada tahun 2000 ke 2008 kenaikan batubaranya 9,4% menjadi 25% namun terjadi hal sebaliknya pada pangsa bahan bakar minyak di periode yang sama yakni mengalami penurunan dari 43,5% menjadi 35,3% , Bahkan kenaikan penggunaan batubara ini tidak hanya menggantikan minyak tetapi juga menjadi subtitusi terhadap bahan bakar gas dan biomassa. Dalam hal Resource di indonesia di perkirakan berjumlah 104,9 milyar ton dengan jumlah reserve 20,98 milyar ton dan jumlah cadangan ini cukup untuk 140 tahun kedepan.

Jumlah yang sangat banyak untuk mencukupi kebutuhan energi dalam negeri demi menunjang pembangunan dan ekonomi. Pemakaian yang paling nampak adalah untuk pasokan energi listrik karena memang konsumen domestik batubara terbanyak adalah sektor pembangkit listrik yang mengkonsumsi 63% pasokan batubara nasional. Selanjutnya diurutan kedua adalah industri keramik dan semen yakni sebesar 14%. Namun ironisnya jumlah batubara yang seignificant tersebut ternyata pada kenyataannya belum bisa memenuhi pasokkan energi listrik dalam negeri hal ini nampak adanya pemadaman listrik bergilir di sejumlah daerah bahkan di daerah yang seharusnya paling layak menikmati listrik karena daerah tersebutlah yang mensupply batubara paling banyak seperti pada provinsi Sumatera selatan,Kalimantan selatan,Kalimantan tengah,dan kalimantan timur. Hal ini dikarenakan para pelaku pertambangan batubara yang memiliki kecenderungan kurang mengindahkan aturan-aturan investasi pertambangan yang bersifat jangka panjang dan mereka memiliki karakter pedagang yang hanya memikirkan keuntungan jangka pendek,ibaratnya kalau bisa mereka membeli perusahaan hari ini dan menjualnya bulan depan dengan keuntungan yang berlipat ganda sehingga tidak heran jika akhirnya batubara yang dimiliki oleh PKP2B seperti peruahaan-perusaan tambang besar yang mana luas areal maksimalnya adalah 100.000 hektare(KPC,ARUTMIN,BRAU,dll)banyak mengekspor hasil batubaranya keluar negeri seperti Cina,India, karena walaupun india termasuk produsen batubara dengan jumlah besar tetap belum bisa memenuhi kebutuhan batubara dalam negerinya,hal ini dikarenakan pertumbuhan industri di India yang meningkat dan sangat memerlukan supply energi yang memadai, ditambah lagi dengan harga yang ditawarkan oleh negara penadah lebih tinggi dari pada harga yang ditawarkan oleh PLN.

Karena biasanya PLN memenuhi kebutuhan batubaranya dengan membeli batubara pada pemilik KP(Kuasa Pertambangan yakni bagi perusahaan kecil dimana luas areanya maksimal 1000 hektare ) karena harganya yang relatif lebih murah. hal ini dikarenakan PKP2B membayar lebih mahaldari segi Royalti,Pajak badan selain itu dengan cakupan areal penambangan yang luas dan umur tambang yang lama mereka memiliki kewajiban melakukan reklamasi lebih ketat dan menelan biaya yang lebih besar daripada KP. Dan untuk mewujudkan pembangunan PLTU batubara 10.000 MW maka di proyeksikan batubara yang dibutuhkan dalam kurun waktu 10 tahun kedepan adalah 175 juta ton.

Karena Alasan tersebut diatas maka Pemerintah kini menetapkan Domestic Market Obligation (DMO) yakni merupakan kewajiban untuk mengutamakan pemasokkan mineral dan batubara dalam negeri yang mana peraturannya diatur dalam UU no 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan mineral dan batubara serta Permen ESDM No.34 Tahun 2009 tentang pengutamaan pemasokkan kebutuhan mineral dan batubara untuk kepentingan dalam negeri. Namun bukan berarti kebijakan baru ini tanpa tantangan ada sejumlah permasalahan yang harus dihadapi oleh Pemerintah dan Perusahaan tambang yakni kondisi batubara indonesia didominasi oleh Low rank coal dan juga spesifikasi dan kualitas batubara yang berbeda di setiap lokasi tambang dan perusahaan dan tidak semua cocok digunakan oleh domestik seperti produksi pada KPC prima coal dan Marunda Premium Coal sehingga harus ada sekenario Blending (mencampur batu bara antara kualitas rendah dan kualitas tinggi) sehingga memenuhi spesifikasi pembangkit listrik pada PLTU yang telah ada namun dalam hal ini PLN/Pemerintah belum memiliki fasilitas coal blending. Perencanaan antara pembangunan 10.000 MW tahap I dan II belum memetakan antara zona coal resource dengan PLTU yang akan dibangun, Seharusnya untuk PLTU dengan kapasitas < 100 MW diusahakan dari zona coal resource terdekat. PLN yang membeli batubara dengan sistem tender berdasarkan harga termurah yang berasal dari perusahaan KP sehingga memicu kecenderungan PKP2B menjual hasil batubaranya ke luar negeri.

Sehingga solusi untuk mengatasi tantangan diatas adalah :


  1. Melakukan perubahan spesifikasi batubara PLTU percepatan dan dibuat range spesifikasi batubara(Kalori,belerang,kadar air) serta dibangunnya fasilitas coal blending
  2. Pembangunan dan penempatan PLTU batubara skala kecil harus parallel dengan pemetaan coal resource pelaku usaha kecil (KP) di daerah dimana coal resourcenya digunakan sebagai pemasok PLTU terdekat. Misalnya pembangunan mine mouth power plant untuk batubara berkalori rendah-sangat rendah
  3. PLN membeli batubara dengan harga pasar sehingga perlunya menerapkan harga Patokan Batubara
  4. PLN mengutamakan batubara dari PKP2B untuk lebih terjaminnya kelancaran pasokan batubara

Sehingga diharapkan nantinya DMO dapat berjalan dengan baik sehingga kebutuhan energi batubara dalam negeri dapat terpenuhi secara menyeluruh untuk kemajuan perekonomian dan perkembangan bangsa menuju pada kemandirian energi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun