Mohon tunggu...
Novredhana Diansi
Novredhana Diansi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Male, 22 years old, college boy, melancholist type of person, like sport. Follow me @novredhanads

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kutemukan cinta dibalik bak sampah

17 Desember 2013   19:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:49 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada suatu hari yang gelap tahun 1998, udara begitu dingin menusuk tulang. Hari itu tak ada bedanya dengan hari – hari sebelumnya. Berjalan tiap malam, menyusuri gorong – gorong, jalan raya, komplek – komplek perumahan mewah ataupun sebaliknya. Dengan karung yang kupanggul dengan tangan kiri, dan sebuah pengait gelas plastik di tangan kanan, aku berdiri menggigil dalam pakaian yang sudah compang camping. Baju ini sudah begitu bau dan tipis. Aku duduk di tepi jalan TB Simatupang. Masih tidak percaya bahwa nasib akan membawaku seperti ini. Aku adalah seorang anak laki – laki. Seharusnya aku belajar di pagi hari, beristirahat di siang hari, bermain di sore hari, dan tidur dengan nyenyak di kasur yang nyaman pada malam hari. Saat ini aku tidak bermuluk – muluk memikirkan masa depan. Aku hanya ingin menikmati masa – masa kecilku seperti anak normal yang lainnya.

Tetapi, semua keinginan itu hanya pantas untuk anak yang masih hidup. Aku bukanlah termasuk kategori seperti itu. Aku nyaris mati, mencoba bertahan hidup dari ke hari, dari jam ke jam, sejak keberadaanku tidak diharapkan lagi oleh kedua orang tuaku. Aku dibuang oleh mereka. Apa salahku? Aku ini masih kecil. Aku tak mengerti masalah orang dewasa. Aku tak perduli masalah mereka. Yang aku inginkan hanyalah sebuah kasih sayang dan tanggung jawab. Tidak, yang kupikirkan saat ini hanyalah apakah besok aku masih bisa hidup? Apakah uang hari ini cukup untuk makan esok hari?

Aku beranjak dari trotoar jalan tempat dudukku. Aku berjalan mondar – mandir di dekat bak sampah, mencoba menghangatkan tubuhku yang kedinginan. Aku lapar. Dari tadi siang belum ada satupun makanan yang masuk ke perutku. Hari – hari sebelumnya situasi seperti ini biasa kulalui. Kalau sudah seperti ini, apapun akan kumakan. Entah sisa roti yang sudah menghitam karena jamur, makanan sisa dari sebuah warung makan yang dibuang ke tong sampah, susu kotak basi yang dibiarkan tidak diminum dan hanya disimpan di kulkas oleh seseorang. Kau tahu bedanya aku dengan kucing liar? Jawabnya tidak ada! Setiap hari orang sepertiku semakin bertambah. Kota ini terlalu sempit untuk kami. Aku kian tenggelam dalam keputusasaan.

Tiba – tiba, aku melihat seorang anak perempuan berjalan bersama seorang tua yang berpakaian cukup rapi. Anak itu berhenti dan memandang ke arahku. Tidak, tatapannya tidak seperti anak – anak lainnya. Yang biasanya menatapku dengan tatapan jijik dan segera ingin menjauh dariku. Ia memandangiku dengan tatapan sedih, mata yang seakan berkata bahwa ia tak bisa mengetahui alasan keberadaanku disini. Saat ia menatapku begitu lama, rasanya aku ingin segera pergi dari tempat itu. Pergi sejauh mungkin, dimana ia tak akan bisa melihatku lagi. Jujur, aku merasa sangat malu dan canggung. Tapi aku tetap tak bisa menggerakkan tubuhku.

Kemudian dia mengambil satu bungkus nasi di dalam plastik yang dipegang pria itu. Gadis itu menatap ke pria tua itu, pria tua itu mengangguk dengan menghela napasnya. “Makanlah, ini nasi bungkus yang kubeli untuk pembantuku di rumah. Namun tampaknya kau lebih membutuhkannya” Astaga, ini nasi? Benar – benar sebungkus nasi lengkap dengan sayur dan lauk pauknya. Bukan sisa nasi yang sudah baudan berjamur? Apakah ini kenyataan. Aku memegang bungkusan itu dengan tangan kaku dan gemetar. Dalam duniaku yang penuh kegelapan, sebungkus nasi itu, yang bagi orang lain merupakan barang yang biasa saja, bagiku merupakan sebuah lambang harapan. Setelah aku mengangkat kepalaku, gadis itu sudah pergi menjauh.

Esok harinya, hatiku tak dapat menahan diri lagi. Siang terik aku berdiri di tempat yang sama. Lama aku berdiri di situ. Apakah aku sudah sinting? Mengharapkannya untuk datang ke sini, gadis itu? Tapi dari lubuk hati yang terdalam sepertinya aku mengakuinya. Bergantung pada harapan sekecil apapun, agar ia datang kembali ke sini.Hari sudah semakin sore. Aku sempat merasa putus asa. Tampaknya harapanku hanya akan berakhir menjadi kesia – siaan.

Tidak, dia benar – benar datang. Kali ini dia datang sendiri, masih mengenakan seragam sekolah lengkap. Kali ini dia membawakanku buah – buahan segar, tak lupa dengan sebungkus nasi. Ia memberikannya dengan tersenyum. Mata beningnya bersinar begitu indah. Tidak, aku bukanlah pengemis. Aku hanya ingin menerima sesuatu dari dirinya, bukan orang lain. Ya, hanya dirinya.Untuk pertama kalinya, aku merasa hatiku bergetar karena luapan emosiku.

Berbulan – bulan kami dipertemukan dengan cara yang sama. Setiap hari, tidak pernah terlewatkan satu haripun. Terkadang, aku berbicara padanya sepatah dua patah kata. Di hari lain, ia hanya memberiku makanan kemudian pergi begitu saja. Ia bagaikan oase di tengah padang pasir. Ia menyirami hatiku yang sudah kering dengan air pengharapan. Pengharapan akan adanya hidup yang lebih baik di esok hari.

Suatu hari, aku mendapat kabar yang menghancurkan hatiku. Suatu kabar yang benar – benar sudah kuduga sebelumnya, namun tak pernah kuhiraukan. Hari itu berjalan seperti biasanya. Ia datang dengan membawa makanan. Namun kali ini tidak ada senyuman yang ia tampakkan kepadaku. Hanya wajah muram, gelap, dan penuh kesedihan. “Maafkan aku, besok aku harus pergi, kita tak akan pernah bertemu kembali”. Sebelum aku bertanya kepadanya apa yang terjadi ia sudah berlari dengan cepat. Berlari meninggalkan diriku yang jatuh terduduk menggenggam sebuah bungkusan yang mungkin akan menjadi benda terakhir yang ia berikan padaku.

Bulan demi bulan berlalu. Akhirnya setiap hari aku harus kembali ke mimpi burukku seperti sebelumnya. Tidak ada lagi makanan enak, buah – buahan, ataupun air jernih untuk mengisi perutku. Tak ada lagi yang tersisa kecuali hanya kenangan dari gadis itu. Matanya yang lembut, senyumnya yang begitu tulus, tutur katanya yang begitu memanjakan telinga. Selama aku bersamanya, ia selalu mengajarkan aku untuk berdoa. Berdoa kepada tuhan untuk meminta apa yang paling kuinginkan. Ia mengajariku untuk selalu percaya padanya, percaya Tuhan akan selalu mendengarkan hambanya yang berdoa kepadanya. Malam ini aku berdoa, berdoa kepada Tuhanku. Kau tahu apa yang kuminta? Aku hanya meminta kepada tuhanku agar mimpi buruk ini segera berakhir. Aku ingin segera melepaskan diri dari belenggu keterpurukan, menuju hari esok yang lebih baik.

Dan hari ini aku percaya, bahwa Tuhan telah mendengarkan doaku.

Dua bulan yang lalu aku tertangkap razia yang dilakukan aparat dinas sosial. Aku dibawa ke tempat penampungan dan kemudian aku dipindahkan ke sebuah panti asuhan yang dikelola oleh negara. Apakah kau pernah mendengar cerita dimana anak - anak penghuni panti asuhan diperlakukan tidak layak bak seorang pembantu? Kemudian disiksa oleh si perawat dan sebagainya… Aku tak pernah mengalami hal itu. Aku dipelihara dan dirawat dengan cukup baik. Makanan layak, tempat membuang hajat yang baik, serta kasur yang walaupun tidak begitu empuk namun tetap nyaman akhirnya kurasakan. Hari – hari kujalani dengan berbagai kegiatan positif, tak lupa aku selalu berdoa kepada Tuhanku di sela – sela ibadah rutin, mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan kepadaku. Tak lama setelah itu aku mendapat kabar bahwa aku diadopsi oleh sebuah keluarga. Keluarga itu adalah keluarga terpandang yang cukup disegani, namun tak pernah punya kesempatan untuk mencicipi kebahagiaan akan hadirnya seoran anak. Aku tak tahu bagaimana asal mulanya sehingga mereka memilihku untuk mereka adopsi. Aku sujud syukur kepada-Nya.

Di keluarga itu aku disekolahkan, dicukupkan segala kebutuhanku, dan dipelihara dengan baik. Tahun – tahun berlalu. Sampai tahun 2013, aku memimpin sebuah perusahaan pengolahan minyak kelapa sawit terkenal. Menggantikan ayah angkatku yang mulai sakit – sakitan dan tidak berdaya. Sebelumnya, ia ingin sekali menjodohkanku dengan anak perempuan rekanannya. Tentu aku tidak bisa menolak, mengingat begitu besar jasanya yang telah diberikan kepadaku. Lagipula saat ini umurku sudah cukup tua untuk berpacaran. Setelah dipertemukan dan dikenalkan, tampaknya perjodohan ini bukan ide yang buruk. Gadis itu begitu manis, namanya Sherry. Sama sepertiku, dia adalah seorang wanita yang kariernya cukup mentereng. Setidaknya persamaan ini merupakan awal yang bagus.

“Darimana asalmu?” Ia bertanya kepadaku, mungkin ayahnya dan ayah angkatku sudah sangat mengenal baik, namun tidak dengan kami berdua.

“Dari sebuah bak sampah”

“Hahaha… kau sungguh pandai bergurau”

“Tidak, aku bersungguh – sungguh dengan kata – kataku barusan”

Ia mengernyitkan dahinya. “Apa maksudmu?”

Akhirnya aku menjelaskan semuanya panjang lebar, dari awal sampai aku terdampar di tempat mewah ini, termasuk soal gadis yang sering mendatangiku dan memberiku makanan setiap harinya.

“Kau tahu, entah mengapa ceritamu mirip sekali dengan apa yang kualami waktu aku kecil. Pertama kali aku melihatnya waktu sedang berjalan dengan pamanku, aku sangat kasihan sekali padanya. Aku sering bertemu dengan pengemis. Tapi aku merasa ada sesuatu yang mengusikku hingga aku berhenti” Ia mendesah panjang, lalu meneruskan “Sulit melukiskan perasaan kami masing – masing. Waktu itu aku masih sangat kecil dan polos. Tapi lama – lama rasa kasihanku berubah menjadi rasa penasaran. Aku mendatanginya setiap hari. Tapi aku tak pernah ingat dimana tempat itu”

Dengan jantung yang berdegup dengan kencang, aku terdiam mematung. Mataku kosong menerawang.

“Hei, kau tidak apa – apa?” ia menyapukan tangannya ke mukaku, berharap aku segera sadar dari lamunan.

“TB Simatupang” aku berkata lirih.

“Apa?”

“Bak sampah di dekat TB Simatupang bukan?”

“Tung- tunggu, darimana kau tahu hal itu?”

Aku menggenggam tangannya dan menjawab dengan penuh keyakinan.

“Karena aku adalah anak itu Sherry”

Waktu berlalu begitu lambat. Yang ada hanyalah kesunyian. Kami berdua tak dapat mengalihkan mata kami. Setelah tirai waktu terangkat, kami mengenali satu sama lain. Sahabat yang kucintai, selalu kucintai, dan tak pernah hilang dari ingatanku.

Akhirnya aku berkata “Sherry, dulu waktu kau pergi dariku, aku berharap kau untuk kembali. Sekarang kau sudah berada di hadapanku, Tuhan mengabulkan doaku, aku ingin bersamamu, maukah kau menikah denganku?”

Tanpa banyak berkata – kata ia mengangguk setuju. Matanya sembab penuh air mata. Kami berpelukan, pelukan yang sudah kami impikan selama bertahun – tahun, tetapi terhalang oleh takdir. Akhirnya, tak lama setelah itu kami menikah. Dengan disaksikan beberapa tamu undangan. Tamu undangan yang begitu spesial. Sayang, ayahku tak bisa hadir. Tiga hari sebelumnya ia meninggal. Tapi anehnya, meskipun ia telah tiada. Aku tetap dapat merasakan kehadirannya, tersenyum di langit. Menatap kebahagiaan kami berdua.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun