Sebuah legenda Arab kuno menyebutkan, batu Opal dibentuk oleh sambaran kilat. Beragam warna indah yang dipancarkannya tidak lain adalah warna -warni kilat yang terperangkap di dalamnya. Konon katanya, seperti banyak batu-batu berharga lainnya, Opal menyimpan tuah. Bagi pemiliknya Opal bisa mendatangkan keberuntungan. Tapi Opal juga bisa mendatangkan  kesialan. Di film Uncut Gems, sebongkah Opal yang terkemas rapi terkirim ke meja kerja Howard. Â
Howard Ratner adalah pedagang perhiasan, yang tidak lagi tinggal bersama ketiga anak dan istrinya, Dinah. Asmara justru menyatukan Howard dengan rekan kerjanya, Julia. Howard juga adalah pria Yahudi penyuka judi. Utang Howard pada Arno sudah lama jatuh tempo. Karenanya Arno mengutus Nico dan cecunguknya untuk mengintimidasi Howard. Arno ingin uangnya kembali.
Sedangkan Howard, ia merasa hidupnya aman-aman saja. Howard yakin bisa melunasi utang-utangnya dari hasil lelang  batu Opal yang baru didapatnya. Tapi sebelum Opal dilelang, Howard meminjamkannya pada pebasket ternama, Kevin Garnet. Di tangan Garnet, batu itu "menunjukkan tuahnya".
Uncut Gems di direct oleh kakak-beradik Joshua dan Benjamin Safdie. Film ini juga dibintangi oleh Adam Sandler, Julia Fox, Kevin Garnet dan Eric Bogosian. Skenarionya ditulis oleh Joshua Safdie, Benjamin Safdie dan Ronald Bronstein.
Uncut Gems bukan film yang benar-benar baru. Saya pernah menontonnya tapi tidak menyelesaikannya. Pasalnya di beberapa menit awal tayangnya, saya merasa Uncut Gems bukan film biasa, meskipun Adam Sandler yang jadi bintangnya. Beberapa hari lalu saya mencoba merunutnya lagi. Ada hal menarik yang saya temukan di film ini setelah tuntas menontonnya.
Tokoh utama di film ini, Howard Ratner, tidak pernah ada di muka bumi. Keberadaannya hanya ada di narasi fiksi. Meski demikian, di sepanjang durasi cerita, Joshua dan Ben Safdie (Josh dan Ben) berhasil membuat saya hampir percaya bahwa Howard benar-benar ada. Di film ini Josh dan Ben mengisahkan Howard dengan apa adanya, sembari membeberkan realita yang ada di kesehariannya. Keseharian yang tidak jauh- jauh kebenarannya dari keseharian kita (baca: warga Amerika).
Howard dituturkan sebagai pria periang yang ramah pada semua orang (meskipun utang mencekik emosinya). Howard juga mencintai ketiga orang anaknya. Namun di sisi lain, Howard adalah pria yang syahwatnya pada harta sama besar dengan egonya. Karenanya pilihan hidupnya seringkali salah, sehingga kekacauan jadi akrab dengannya. Tapi kacau untuk Howard tidak berarti kacau untuk saya, yang jadi penontonnya. Dengan rapi dan rinci, Josh dan Ben menata kekacauan Howard menjadi tontonan yang kaya dengan beragam emosi. Keduanya juga beberapa kali menebar kejutan dan membelokkan dugaan, sehingga penonton berpotensi untuk gemes-gemes jengkel dengan tingkah Howard.
Untuk itu salut saya tertuju pada Adam Sandler. Sandler sangat bisa menjadikan tokoh Howard seperti benar-benar ada. Segudang pengalamannya di panggung komika, layar kaca dan layar lebar membuat Sandler begitu mudah merubah dirinya menjadi Howard.
Upaya membuat Howard menjadi ada tidak berhenti di penulisan narasi. Josh dan Ben juga menata sinematografi film ini dengan jeli. Dengan kameranya, kedua kakak-beradik itu membuntuti Howard kemanapun ia pergi. Membuntutinya dari jauh maupun dari dekat.
Saat berada di kejauhan, Josh dan Ben merangkum Howard dan segenap ambience di sekitarnya. Keduanya seolah ingin berkata pada penonton: disinilah Howard hidup dan bekerja setiap harinya. Saat berada di dekat Howard, kamera dibiarkan mengumbar ekspresi Howard dengan jelas. Keduanya seolah ingin berkata: seperti inilah orangnya.