Saya bahkan tidak pantas menyebut diri saya penggemar kisah termasyhur berjudul Heidi. Ketika akan menulis ini pun, saya lupa detail ceritanya, dengan malu dan menyesal saya mengakuinya. Yang saya tahu, ilustrasi dengan seting padang rumput di pegunungan Alpen di buku itulah yang sampai saat ini masih lekat di ingatan saya.
Heidi adalah salah satu di antara banyak judul buku cerita anak bergambar terbitan Elex Media Komputindo yang saya punya ketika rambut saya masih sering dikucir dua, kiri dan kanan. Saya punya yang lain. Putri Salju, Raja yang Bodoh, Hans dan Gretel, Putri Duyung, Ayah Berkaki Panjang, Boneka Pengupas Kacang, Alice di Negeri Ajaib, Angin Utara dan Matahari adalah beberapa judul yang dengan cepat bisa saya sebutkan. Tidak ada yang impresi ilustrasinya sekuat Heidi.
Halaman-halaman begambar hamparan hijau dan jalan setapak seketika membuat saya kecil jatuh cinta pada tempat yang bernama padang rumput jauh sebelum saya merasakan cinta monyet-cinta monyet saya. Bunyi “Alpen” pun dapat terdengar begitu menyenangkan. Malam hari, sebelum saya tidur, memori saya akan membolak-balik halaman-halaman hijau di buku Heidi. Saya memejamkan mata, lalu saya akan menjelma gadis kecil lain, teman Heidi, yang tinggal di dekat rumah kakek Heidi, di Pegunungan Alpen tentu saja. Kami akan bermain bersama di padang rumput dan menciptakan cerita kami sendiri, yang akan mengubah ilustrasi-ilustrasi buku sampai ke halaman akhirnya.
Di sebuah halaman buku yang saya jelajahi, misalnya, saya menemukan gambar Heidi sedang makan roti bakar dan minum susu hangat di dalam rumah kayu yang terletak di tengah-tengah padang rumput. Imajinasi masa kecil saya langsung membawa saya turut masuk ke dalam rumah kayu itu, duduk di sekitar perapian yang hangat, mencium harum aroma roti bakar, dan menyeruput susu segar yang baru saja dipanaskan. Setelah itu, dengan tak sabar saya akan bermain lagi di luar, di hamparan rumput hijau luas, yang baunya selalu menciptakan sensasi yang menyenangkan. Saya akan tiduran di atasnya dan memandang ke langit, mereka-reka bentuk apa yang ditiru awan-awan yang menggantung di sana. Saya akan tertidur, lalu bangun, lalu berterima kasih karena waktu saya dengan padang rumput belum habis.
Dengan semangat ingin bermain-main di tengah padang rumput itulah saya kecil punya ritual naik ke bukit yang ada di belakang rumah saya setiap hari Minggu, karena cuma pada hari Minggulah saya bisa punya waktu yang cukup luang di pagi hari. Saya akan menyusuri jalan setapak di antara rumput liar berbunga seperti duri yang akan menempel pada pakaian saya; di antara ladang cabai dan kacang tanah; di antara pohon ciplukan yang jika beruntung saya bisa menemukan buahnya yang sudah cukup matang untuk dimakan di jalan; di antara sulur-sulur kacang panjang yang kalau saya sedang usil saya petiki beberapa lencernya untuk dibawa pulang; di antara pohon tomat kecil yang biasa kami sebut rampai, yang bau daunnya amat saya suka; sambil berharap suatu saat semua tetumbuhan itu memendek dan menyederhana menjadi rumput-rumput kecil hijau yang rapi, yang di atasnya saya bisa duduk atau tiduran dengan nyaman. Adalah bonus kalau mereka juga berbunga kuning mungil.
Waktu itu saya tidak tahu berapa lama kesenangan saya membayangkan ada di tengah padang rumput akan bertahan. Tapi sekarang, setelah hampir 20 tahun sejak seorang anak kecil bermimpi bermain-main di tengah padang rumput, saya menemukan bahwa saya tidak bisa tidak memasukkannya ke dalam bucket list saya, hal-hal yang ingin saya lakukan sebelum saya mati.
Dengan coretan yang sangat sepele ini, saya cuma mau mengagumi betapa ajaibnya cara sebuah mimpi bermula. Ia bisa tercipta dari mana saja, termasuk dari buku cerita bergambar berjudul Heidi yang bahkan ceritanya tidak bisa saya ingat.
*See how magical this place is: http://kom.ps/AB03rl :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H