Mohon tunggu...
noviyanto aji
noviyanto aji Mohon Tunggu... karyawan swasta -

biasa ajalah...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel Kitab Tertutup Raja Dusta dan Dewi Kemunafikan

2 Maret 2014   01:39 Diperbarui: 9 September 2015   19:43 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_314658" align="alignnone" width="640" caption="Neneng (tengah) diapit Kak Seto dan Kadinsos Surabaya Supomo."]

13936738531771054669
13936738531771054669
[/caption]

Namanya Neneng. Cuma itu, tidak ada nama kepanjangan. Mungkin juga, itu nama baru. Simpel saja. Dinas Sosial Surabaya yang menemukan Neneng pada 2009 saat ngamen di pinggir jalan, mungkin tidak tahu nama aslinya. Bisa jadi, mereka asal mereka-reka dan memberi nama 'Neneng' supaya mudah disapa dan dikenali. Asalnya tidak diketahui. Orangtuanya juga tidak jelas.

Oleh Dinsos, Neneng kemudian dititipkan ke Pondok Sosial Kalijudan. Bersama anak-anak terlantar, anak-anak jalanan, dan anak-anak tunagrahita lain, Neneng membaur. Dia diajari banyak hal. Neneng tidak pernah belajar di bangku sekolah. Dia, hanya diajari ilmu non akademisi. Seperti, melukis, memasak, membuat kue, menari, dan menyanyi.

Meski begitu, Neneng layak menjadi contoh bagi anak-anak seusianya. Dia berhasil menunjukkan bakatnya pada dunia. Lukisannya yang acak kadul (orang awam melihatnya), tak pelak banyak orang menaruh 'hormat' pada anak berkebutuhan khusus berusia 14 tahun tersebut. Salah satunya: saya.

Saya mengenal lebih dulu karyanya dibanding orangnya (Neneng). Ceritanya, saat itu saya sedang bingung mencari cover untuk buku ini. Semua isi sudah dilayout, tapi untuk cover tak kunjung selesai. Malahan saya sempat minta dibuatin teman-teman grafis di Jakarta untuk cover, ya itu, kok masih belum pas antara cover dengan isi. Sampai-sampai saya frustasi untuk tidak melanjutkan penggarapan buku ini. Sempat sih berpikiran untuk menggunakan lukisan untuk cover buku, tapi siapa yang mau melukis buat saya. Memang, saya mengenal beberapa pelukis, namun sewaktu melihat karya mereka, semuanya perfect, terlalu sempurna, terlalu apik. Sementara, saya tidak butuh kesempurnaan.

Nah, secara kebetulan saya mampir di Balai Pemuda. Di situ ada pameran lukisan anak tunagrahita. Saya melihat-lihat. Saya potret satu persatu. Hingga sampailah pada lukisan terakhir yang sebenarnya sudah saya lewati. Yaitu lukisan milik Neneng. Saya perhatikan dengan seksama lukisan tersebut. Saya renungi. Saya pandangi tanpa berkedip. Lukisan itu seperti bergerak, punya ruh. Seperti berbicara pada saya. Tak tahu kenapa, tiba-tiba sesuatu menjalar di tubuh. Merinding saya dibuatnya. Hati seperti teriris-iris. Jujur, saya menangis. Lukisan itu seperti mewakili naskah yang selama ini saya tulis, Kitab Tertutup Raja Dusta dan Dewi Kemunafikan.

Pelukisnya seperti hendak menunjukkan kerinduan yang mendalam terhadap seseorang. Siapa? Ibu, ayah, entahlah. Semua lukisan Neneng serupa. Tapi yang istimewa bagi saya, ya lukisan berjudul Pose yang kini saya jadikan cover buku.

Dari sekedar melihat karyanya, saya langsung tahu kalau Neneng memang anak istimewa. Dia mempunyai bakat unik dan alami. Dia melukis bukan dengan pikiran tetapi dengan hati. Jiwanya putih bersih. Ketika saya tanya, 'Neneng sukanya melukis apa?', dia menjawab, 'manusia'. Kenapa manusia? Dia menjawab dengan termenung kemudian dibalas cengengesan. Itulah sekilas tentang Neneng. Maaf, jika tak banyak yang bisa saya gambarkan soal pribadi Neneng. Cuma, saya mengagumi karya-karyanya yang luar biasa. Wajar jika Tempo menjulukinya Pablo Picass-nya Indonesia. Karena itu, melalui buku ini dan melalui karya Neneng, kami persembahan karya kami dari Surabaya untuk Indonesia.

Begawan Jawa

Saat itu, tinggal satu langkah: saya butuh endrosmen. Saat itu naskah dan cover selesai dilayout, tinggal komentar. Kebingungan kembali menghadang. Secara tidak sengaja, saya melihat tayangan JTV dalam program 'Di Balik Sebuah Nama'. Sosok Suparto Brata muncul. Beliau dikenal Begawan Jawa sekaligus Sastrawan Indonesia yang masih aktif menulis. Padahal usianya sudah lanjut, 82 tahun. (Banyak karya-karyanya bertumpuk di kamar. Kalau tidak percaya teman-teman Kompasiana bisa datang ke sana).

Langsung saja saya kontak produsernya yang juga teman saya Yoga. Saya minta alamat beliau. Dikasih. Saya pun meluncur ke rumah Pak Suparto. Awalnya beliau menolak saat saya beri naskah. Alasan beliau, usianya sudah tua dan tidak bisa membaca cepat. “Saya tidak bisa baca cepat, usia sudah tua. Mata juga rabun. Kalau saya baca, saya cuma bisa baca di pagi hari saat matahari muncul,” kata Pak Suparto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun