Mohon tunggu...
Novita Safira Anjani
Novita Safira Anjani Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa ekonomi pembangunan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Strategi Menentukan Suku Bunga Acuan Berdasarkan Taylor Rule

18 November 2024   00:02 Diperbarui: 18 November 2024   00:05 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Krisis pada tahun 1998 menyebabkan inflasi Indonesia meningkat mencapai 58,4%. Kenaikan inflasi ini menyebabkan ketidakstabilan perekonomian Indonesia. Kebijakan moneter yang diterapkan adalah pelebaran band intervensi, pembatasan jual beli valuta asing, pergantian sistem nilai tukar, dan pengetatan likuiditas oleh perbankan. Sebagai respon dari pergantian nilai tukar mengambang terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang bebas. Nilai tukar Indonesia mengalami depresiasi, hingga mencapai Rp 14.900/ USD pada kahir tahun 1998. Kondisi ini memunculkan kritik independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah menetapkan Undang Undang Nomer 23 tahun 1999 tentang tugas tunggal Bank Indonesia yaitu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

UU Nomer 23 Tahun 1999 kembali diperbarui menjadi UU Nomer 6 tahun 2004. Kedua Undang-Undang tersebut menjadi latar belakang ditetapkannya Inflation Targeting Framework (ITF) di Indonesia sebagai pedoman kebijakan moneter di Indonesia. ITF mulai diterapkan di Indonesia sejak Juli 2005, dimana secara tidak langsung menggunakan model taylor rule di dalam kerangkanya. Model taylor rule adalah kerangka yang digunakan bank sentral untuk mengatur suku bunga jangka pendek sebagai respon terhadap perubahan inflasi dan kesenjangan output. Perhitungan taylor rule mencakup kesenjangan antara inflasi aktual dengan inflasi target, dan Output potensial dengan output aktual. ITF digunakan sebagai pedoman kebijakan moneter Bank Indonesia dengan inflasi sebagai fokus utamanya dan suku bunga sebagai instrumen pengendalinya. Setelah ditetapkannya ITF mendorong permintaan model ekonomi ekonomi baru yang digunakan untuk memprediksi inflasi dengan berbasis ITF. Bank Indonesia mengembangkan empat model baru yaitu MODBI, SSM, SOFIE, dan GEMBI. Dua di antara model tersebut terdapat persamaan model taylor rule di dalamnya yaitu model SSM dan SOFIE. Taylor rule pada dasarnya merupakan fungsi dari reaksi otoritas moneter yang merekomendasikan tingkat suku bunga acuan bank sentral. Dalam kerangka ITF, Bank Indonesia menetapkan target dengan toleran band sebesar 1 persen berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 101/PMK.010/2021 mengenai target inflasi.

Pada tahun 2013 inflasi Indonesia mencapai 8,38%  melebihi inflasi aktualnya yakni 4,51%. Kenaikan inflasi ini disebabkan oleh lajunya kenaikan harga BBM, hal ini berdampak langsung pada biaya transportasi yang meningkat. Selain itu, juga disebabkan oleh The Fed yang kembali menerapkan kebijakan tapering off dengan meningkatkan tingkat suku bunga sehingga menyebabkan capital out flow  di Indonesia. Dampakanya nilai mata uang rupiah kembali terdepresi, sehingga menyebabkan harga barang impor naik, bahan baku lebih mahal, dan menambah tekanan inflasi domestik. Hal itu kembali direspon oleh Bank Indonesia dengan meningkatkan suku bunga acuannya sebesar 6% pada tahun 2013. Namun respon dari kenaikan tingkat suku bunga tersebut menyebabkan output gap negatif. Jika taylor rule adaptif seharusnya tingkat suku bunga akan mengalami perubahan setelah adanya perubahan dari tingkat inflasi dan output gap. Hal tersebut menunjukkan keterlambatan tayor rule dalam menghadapi dinamika ekonomi yang cepat berubah dan dipengaruhi oleh faktor faktor eksternal.

Namun kondisi lain juga terjadi, pada tahun 2021 inflasi Indonesia meningkat sebesar 1, 78% namun tidak melebihi target inflasi yang sebesar 31%. Peningkatan ini disebabkan oleh faktor eksternal seperti gangguan rantai pasok akibat dari COVID-19, dan juga kenaikan harga minyak palm (Crude Palm Oil) (Kementrian perdagangan, 2023). Disisi lain output gap Indonesia turun mendekati angka -1,5%, hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia berada dibawah kapasitas potensialnya. Untuk merespon kondisi tersebut Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunganya sebesar 3,5% pada tahun 2021. Kenaikan suku bunga ini bertujuan untuk melonggarkan kebijakan kredit  dan mendorong investasi serta konsumsi.  

Penerapan strategi suku bunga di Indonesia yang berbasis pada Taylor Rule telah menjadi bagian dari kebijakan moneter dalam kerangka Inflation Targeting Framework (ITF) sejak 2005. Taylor Rule memberikan panduan bagi Bank Indonesia (BI) dalam menyesuaikan suku bunga acuan dengan mempertimbangkan perbedaan antara inflasi aktual dan target inflasi, serta kesenjangan output. Meskipun demikian, penerapannya di Indonesia menghadapi tantangan dalam merespons dinamika ekonomi yang cepat berubah, terutama akibat pengaruh faktor eksternal.  Krisis ekonomi 1998 menunjukkan betapa rapuhnya stabilitas perekonomian Indonesia saat itu, dengan inflasi melonjak hingga 58,4%. Respon kebijakan berupa perubahan sistem nilai tukar dan penguatan kerangka kerja BI melalui UU Nomor 23 Tahun 1999 menjadi titik awal reformasi kebijakan moneter. Dengan penerapan ITF, BI menjadikan inflasi sebagai fokus utama kebijakan, sementara suku bunga digunakan sebagai instrumen pengendalian. Penerapan model Taylor Rule dalam menentukan tingkat suku bunga acuan di Indonesia menunjukkan beberapa keterbatasan yang berpotensi mengurangi efektivitasnya dalam menghadapi dinamika ekonomi yang kompleks. Taylor Rule, yang mendasarkan perhitungan pada kesenjangan antara inflasi aktual dengan inflasi target serta output aktual dengan output potensial, memerlukan data historis yang akurat dan waktu untuk analisis. Hal ini menyebabkan model cenderung memiliki keterlambatan dalam merespons perubahan ekonomi yang cepat.

Pada 2013, Indonesia menghadapi tekanan inflasi yang mencapai 8,38%, dipicu oleh kenaikan harga BBM dan kebijakan tapering off oleh The Fed yang memicu capital outflow. Respon BI dengan menaikkan suku bunga hingga 6% berhasil menekan inflasi, tetapi menyebabkan output gap negatif, yang menunjukkan dampak kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi. Situasi ini mencerminkan keterbatasan Taylor Rule dalam menghadapi perubahan ekonomi yang cepat dan kompleks. Dan juga terdapat faktor faktor eksternal lain yang menyebabkan kebijakan taylor rule kurang cocok diterapkan di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun