Di lain sisi, demokrasi terpimpin pula terlihat berdasarkan dampak komunis & peranan tentara (ABRI) pada politik Indonesia.
Pada masa demokrasi terpimpin poly terjadi penyelewengan terhadap Pancasila & Undang-Undang Dasar 1945, seperti:
-Pembentukan Nasionalis, Agama, & Komunis (Nasakom)
-Tap MPRS No. III/MPRS/1963 mengenai -Pengangkatan Soekarno menjadi presiden seumur hayati
-Pembubaran DPR output pemilu sang presiden
-Pengangkatan kepala DPR Gotong Royong/MPRS sebagai menteri negara sang presiden
GBHN yg bersumber dalam pidato presiden lepas 17 Agustus 1959 yg berjudul 'Penemuan Kembali Revolusi Kita' ditetapkan sang DPA bukan MPRS
3. Demokrasi Pancasila era Orde Baru
Setelah insiden G30S PKI terjadi pada tahun 1965, terjadi pergantian pemimpin berdasarkan Soekarno menuju Soeharto. Era orde baru ini pula dikenal menggunakan kata Demokrasi Pancasila yg mengakibatkan Pancasila menjadi landasan demokrasi.
Akan tetapi, rezim yg berkuasa selama 32 tahun pula dihantui menggunakan beberapa penyimpangan, seperti:
* Penyelenggaraan pemilu yg nir amanah & nir adil
* Penegakan kebebasan berpolitik bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
* Kekuasaan kehakiman (Yudikatif) yg nir berdikari lantaran para hakim merupakan anggota PNS Departemen kehakiman
* Kurangnya agunan kebebasan mengemukakan pendapat
* Sistem kepartaian yg otonom & berat sebelah
* Maraknya praktik kolusi, korupsi, & nepotisme (KKN)
4. Demokrasi Reformasi (1998-sekarang)
Berakhirnya 32 tahun kekuasaan Orde Baru melahirkan demokrasi baru yang dikenal dengan Era Reformasi. Masa reformasi merupakan fase demokrasi dimana kita bercermin pada prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti:
* Ada pemilihan langsung
* Kebebasan pers
* Desentralisasi
* Hak dasar warga negara lebih terjamin
* Rekrutmen politik partisipatif
Tantangan Demokrasi di Indonesia
Sejak reformasi, konsep demokrasi menjadi semakin penting. Hal ini tercermin dari kebebasan pers dan kebebasan berpendapat warga negara saat mengkritisi pemerintah. Pencabutan larangan ekspresi budaya Tionghoa oleh Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 Republik Indonesia, menunjukkan bahwa prinsip demokrasi Pancasila masih dibutuhkan di negeri ini.Â
Namun di sisi lain, masa reformasi juga membawa dilema bagi bangsa ini. Salah satunya adalah kebebasan berbicara sering disalahgunakan untuk menegaskan identitas kelompok tertentu atas nama mayoritas. Hal ini tentunya menjadi persoalan tersendiri bagi bangsa ini, dan mungkin hal ini dapat mencederai hakekat demokrasi Pancasila.Â
Sebagai contoh, kami mengamati bahwa banyak konflik di masyarakat berdasarkan perbedaan agama dan budaya, meningkatnya ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas, serta munculnya ideologi intoleran dan kejahatan teroris. Juga pada tataran negara dan politik, situasi demokrasi Indonesia cukup memprihatinkan, terutama dari sudut pandang negara hukum.Â
Kita bisa menyoroti salah satu dari sekian banyak pelanggaran HAM, minimnya upaya masyarakat untuk menyusun berbagai undang-undang, seperti revisi UU KPK, RKUHP, keberadaan UU ITE, yang memperumit HAM. Defenders, beberapa terbitan Perpu yang tidak berdasarkan kajian objektif dan masih banyak lagi. Hal ini sangat ironis karena hak penentuan nasib sendiri ada di tangan rakyat dan partisipasi rakyat adalah hal yang mutlak dan kunci dari demokrasi itu sendiri.
Bahkan jika kita melihat situasi politik saat ini, banyak politisi yang memanfaatkan isu SARA untuk menyerang lawan politiknya demi mendapatkan legitimasi di tengah masyarakat. Oleh karena itu, contoh-contoh di atas dapat merusak demokrasi Pancasila dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Kita seakan lupa bahwa negara ini kuat karena dibangun di atas perbedaan. Bagaimana demokrasi idealnya bekerja?
Bagaimana demokrasi Pancasila dipertahankan agar tetap menjadi prinsip hidup bernegara dan bermasyarakat? Sebagai negara demokrasi, negara harus menyerap keinginan atau suara rakyat (khususnya minoritas), karena dalam sistem demokrasi rakyat memiliki kekuasaan pemerintahan penuh, yang dijamin secara konstitusional.Â
Maka untuk mewujudkan demokrasi yang bebas, adil dan jujur, penentuan pemimpin harus melalui hak pilih universal yang sepenuhnya memperhatikan aspirasi rakyat, atau kata kuncinya adalah legitimasi.Â