Mohon tunggu...
Novitania
Novitania Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Writer and Blogger

Content creator, and Blogger. Coffee and makeup enthusiast. an amateur photografer.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ketika Plastik Tak Sekadar Menjadi Pembungkus Belaka

29 Oktober 2019   00:32 Diperbarui: 29 Oktober 2019   00:40 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bu Ningsih (Jilbab Abu) seorang pemulung di Bali, merasakan manfaat lebih dari sampah plastik

Pernah nggak sih kamu membayangkan kehidupan kita saat ini tanpa adanya plastik? Yup, tidak bisa dipungkiri memang kehadiran plastik merupakan suatu penemuan yang sangat bermanfaat untuk kita. Bisa dibilang, plastik seperti sebuah anugerah teknologi yang harus kita syukuri.

Sebelum pembahasan berlanjut, kamu sudah tahu belum tentang sejarah plastik? Dalam sejarahnya, plastik ditemukan oleh bangsa Olmec di Meksiko sekitar 150 tahun sebelum masehi. Saat itu, mereka bermain menggunakan bola yang terbuat dari polimer lain yaitu karet. Seperti kita tahu, selain berada dalam kelas polimer karet juga lentur dan mudah dibentuk. Hal itu senada dengan kata plastik itu sendiri, yang berasal dari bahasa Yunani 'Plastikos' yang berarti lentur dan mudah dibentuk.

Selain karet, bangsa Olmec juga menggunakan kayu yang notebene rata-rata potongan kayu tersebut memiliki selulosa polimer. Selulosa ini kemudian menjadi salah satu bahan baku untuk terobosan besar dalam plastik.

Adalah Alexander Parkes yang membuat bahan baku plastik modern dari selulosa tersebut. Ia menamainya Parkesine. Produk awal yang dibuat berbahan dasar parkesin adalah gagang pisau, sisir, kancing, dan lain-lain. Parkes kemudian memamerkan produk-produk tersebut di London's Science Museum pada tahun 1862.

Temuannya ini kemudian dijual pada dua orang Amerika, Hyatt bersaudara. Untuk meningkatkan kelenturan parkesin, mereka kemudian menambahkan kamper dan menamainya seluloid pada 1870. Namun, terobosan besar pada perkembangan plastik sebenarnya terjadi pada 1907. Tahun tersebut menjadi kelahiran era plastik modern dengan penemuan Bakelite oleh Leo Baekeland.

Bakelite merupakan plastik sintetis pertama di dunia. Dengan kata lain, bakelite tidak berasal dari tumbuhan atau hewan, melainkan dari bahan bakar fosil. Sayangnya, Bakelite bukanlah isolator yang baik seperti seluloid. Karenanya, berbagai penelitian lanjutan terus dikembangkan untuk mencari plastik baru.

Selanjutnya, Baekland menggunakan fenol, asam yang berasal dari tar batubara. Dia kemudian membuat polystyrene pada 1929, poliester pada 1930, polyvinylchloride (PVC) dan polythene pada 1933, dan nilon pada 1935.

Sejarah plastik bisa dibilang cukup panjang dan terus berkembang, bahkan hingga saat ini. Mungkin karena sifat plastik yang tahan air, kuat, ringan dan praktis, sehingga plastik menjadi kemasan utama dalam membungkus sesuatu. Dan tidak bisa dipungkiri saat ini manusia telah begitu bergantung pada plastik.

Ketergantungan Manusia pada Plastik Menjadi Pemicu Polusi 

Kini, keberadaan plastik menuai polemik yang cukup besar di masyarakat. Selain sebagai penyumbang polusi di lingkungan, plastik juga digadang-gadang membawa pengaruh buruk untuk manusia dan biota laut.

Riset terkini bahkan menyebutkan bahwa plastik menjadi penyumbang terbesar sampah di lautan. Nah, dari riset yang telah dikumpulkan, ada sekitar empat fakta tentang plastik yang harus kita tahu dan kita jadikan pelajaran.

1. Ada 150 Juta Ton Sampah di Lautan

Pada 2016 lalu, World Economic Forum melansir fakta sampah plastik di laut. Saat ini, ada lebih dari 150 juta ton plastik di perairan bumi. Jumlah itu bertambah 8 juta ton setiap tahunnya. Bayangkan, ketika plastik yang lalu belum habis terurai, sudah datang lagi sampah baru. Bahkan beberapa waktu lalu, sempat viral bungkus mie instant berusia lebih dari 10 tahun yang ditemukan di salah satu pantai di Indonesia.

2. Sampah Plastik Membunuh Biota Laut

Berdasarkan data dari Global Environment Centre, sebuah kantong plastik membutuhkan waktu hingga 100 tahun untuk terurai. Sementara botol plastik membutuhkan waktu lebih lama, yaitu sekitar 100 sampai 400 tahun karena polimernya lebih kompleks dan tebal.

Itulah fakta sampah plastik di lautan. Sampah plastik butuh waktu ratusan tahun sebelum terurai sempurna. Dalam prosesnya sampah hancur menjadi partikel-partikel kecil, menyebar di seantero perairan dan tanpa sadar dikonsumsi oleh hewan-hewan di lautan.

Sampah-sampah itu terus membunuh makhluk hidup di lautan. Berdasarkan penelitian yang diterbitkan Sekretariat Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention On Biological Diversity) pada 2016, sampah di lautan telah membahayakan lebih dari 800 spesies.

Dari 800 spesies itu, 40% nya adalah mamalia laut dan 44% lainnya adalah spesies burung laut. Data itu kemudian diperbarui pada Konferensi Laut PBB di New York pada 2017 lalu. Konferensi menyebut limbah plastik di lautan telah membunuh 1 juta burung laut, 100 ribu mamalia laut, kura-kura laut, dan ikan-ikan dalam jumlah besar, tiap tahun.

3. Sampah Plastik Berbahaya Bagi Manusia

Fakta sampah plastik di laut berikutnya adalah partikel-partikel sampah plastik (mikro plastik) tidak hanya memberikan dampak buruk bagi biota laut saja. Dalam jangka panjang, manusia juga akan terkena dampaknya. Hal itu terjadi karena manusia mengonsumsi ikan dan produk-produk dari laut. Ikan/hewan laut yang sudah menelan mikro plastik akan menyerap racunnya. Racun ini lalu berpindah ke manusia yang memakannya.

4. Indonesia Menyumbang Sampah Laut Terbanyak Setelah China.

Ini adalah fakta sampah plastik di laut yang cukup membuat prihatin. Grup Penelitian Jambeck dari University of Georgia mengeluarkan hasil riset mereka soal fakta sampah plastik di laut dalam jurnal berjudul Plastic Waste Inputs From Land Into The Ocean.

Data tersebut mengesahkan posisi Indonesia berada di nomor dua sebagai penyumbang sampah plastik ke lautan di dunia. Dalam angka, berikut fakta sampah plastik di laut itu: China menghasilkan jumlah sampah terbesar di laut, yaitu 262,9 juta ton sampah. Selanjutnya ada Indonesia (187,2 juta ton), Filipina (83,4 juta ton), Vietnam (55,9 juta ton), dan Sri Lanka (14,6 juta ton).

Indonesia memiliki populasi pesisir sebesar 187,2 juta yang setiap tahunnya menghasilkan 3,22 juta ton sampah plastik yang tak terkelola dengan baik. Sekitar 0,48-1,29 juta ton dari sampah plastik tersebut diduga mencemari lautan.

Padahal kalau boleh dibilang, jumlah penduduk pesisir Indonesia hampir sama dengan India, yaitu 187 juta jiwa. Namun tingkat pencemaran plastik ke laut India hanya sekitar 0,09-0,24 juta ton/tahun dan menempati urutan ke 12. Artinya memang ada sistem pengelolaan sampah yang buruk di Indonesia.

Tidak berhenti sampai di situ, pencemaran plastik di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat. Saat ini, industri minuman di Indonesia merupakan salah satu sektor yang pertumbuhannya paling pesat. Pada kuartal I-2019, pertumbuhan industri pengolahan minuman mencapai 24,2% secara tahunan (YoY) hanya kalah dari industri pakaian jadi.

Banyak dari hasil akhir produk minuman menggunakan plastik sekali pakai sebagai packaging. Minuman-minuman tersebut dapat dengan mudah ditemui  di berbagai gerai ritel, baik modern maupun tradisional.

Pertumbuhan industri minuman yang sangat pesat tentu saja akan menghasilkan pertumbuhan jumlah sampah plastik yang semakin banyak. Terlebih saat ini kapasitas pengolahan limbah plastik masih terbilang minim.

Gerakan Bijak Berplastik sebagai Langkah Awal Mengatasi Permasalahan Sampah Plastik

Ternyata, tidak semua produsen minuman dengan kemasan plastik di Indonesia abai soal permasalahan sampah plastik. Danone-AQUA adalah salah satu pionir yang membukakan banyak mata tentang fenomena polusi plastik di Indonesia.

sumber: bijakberplastik.aqua.co.id
sumber: bijakberplastik.aqua.co.id

Melalui Gerakan Bijak Berplastik, Danone-AQUA mengajak kita, masyarakat Indonesia untuk aware terhadap lingkungan dan plastik yang kita gunakan. Hal itu bukan tanpa sebab, Danone sadar betul bahwa berdasarkan penelitian Ocean Concervncy 2015, "Lebih dari 8 juta Metrik Ton sampah plastik dibuang ke laut setiap tahunnya."

Dari fakta tersebut kemudian disusunlah langkah awal dalam mengatasi permasalahan sampah plastik yang ada. Gerakan Bijak Berplastik adalah gerakan bijaksana dalam menggunakan plastik, di mana kita bisa memperpanjang umur plastik semaksimal mungkin, sehingga tidak menjadi sampah yang mencemari lingkungan.

Bu Ningsih (Jilbab Abu) seorang pemulung di Bali, merasakan manfaat lebih dari sampah plastik
Bu Ningsih (Jilbab Abu) seorang pemulung di Bali, merasakan manfaat lebih dari sampah plastik

Dari hasil kunjunganku ke berbagai tempat di Bali dalam rangka Danone Blogger Academy 3 beberapa waktu lalu, aku makin paham, jika plastik memiliki nilai lebih dari sekedar pembungkus belaka. Seperti contohnya, di tangan Bu Ningsih, sampah plastik sama nilainya dengan penyambung hidupnya dan keluarga.

Apa yang Bu Ningsih rasakan tentunya sesuai dengan komitmen Danone-AQUA untuk menyelesaikan permasalahan sampah di Indonesia. Melalui tiga komitmen penting yaitu Pengumpulan Botol Plastik, Edukasi dan Inovasi, Danone-AQUA berupaya membangun budaya baru yaitu budaya daur ulang dan kesadaran serta keterlibatan dalam menjaga lingkungan.

Dandelion Bantar Gebang Sebagai Salah Satu Gerakan Bijak Berplastik di Bekasi

sumber: instagram @new.dandelionbantargebang
sumber: instagram @new.dandelionbantargebang

Seperti halnya Bu Ningsih yang kutemui di Bali, di Bekasi ternyata ada juga Bu Ningsih-Bu Ningsih lain, yang mampu menerapkan gerakan Bijak Berplastik dalam kehidupan sehari-hari.

Adalah Komunitas Dandelion Bantar Gebang, sebuah komunitas kemanusiaan yang tergerak karena melihat fenomena daerah Bantar Gebang Bekasi yang dipenuhi dengan gunungan sampah. Sebuah ironi melihat masyarakat di sana yang bukan hanya hidup dalam kekurangan, tapi juga ketidaktahuan.

Ya, mereka memang kurang paham tentang pengolahan sampah, terutama sampah plastik. Yang mereka tahu hanya mengumpulkannya lalu dijual ke pengepul. Sementara, yang tak laku dijual ya terhampar begitu saja.

Komunitas Dandelion Bantar Gebang hadir untuk mewadahi masyarakat Bantar Gebang, agar mereka memahami bahwa sampah juga punya nilai lebih dari yang mereka pikirkan selama ini. Melalui berbagai kegiatan yang dilakukan, Komunitas Dandelion Bantar Gebang kini membawa warna baru di sana.

Seperti oase di tengah sahara, begitulah saya menggambarkannya. Lewat wawancara yang saya lakukan dengan Kak Adhe, salah satu relawan Komunitas Dandelion Bantar Gebang, kini saya makin paham, bahwa Bekasi juga sudah mulai selangkah demi selangkah turut menjalankan Gerakan Bijak Berplastik.

Kak Adhe bertutur bahwa sekarang ini masyarakat Bantar Gebang, lebih sadar tentang pengolahan sampah plastik. Bahkan beberapa pemulung di sana yang notabene ibu-ibu pandai membuat kerajinan berbahan dasar plastik. Ada yang mengubahnya menjadi tas, dompet, topi, dan lain sebagainya.

Bahan dasarnya, ya dari sampah plastik yang mereka kumpulkan, seperti bungkus kopi sachet, bungkus detergen sachet, dll. Hal pertama yang mereka lakukan adalah, mengumpulkannya, lalu cuci bersih, baru kemudian susun polanya dan jahit dengan rapih baru kemudian mereka jual.

Bukan Hanya Sesuatu yang Bernilai Ekonomi, Dandelion Bantar Gebang Juga Mengubah Sampah Plastik Menjadi Media Pembelajaran

sumber: instagram @new.dandelionbantargebang
sumber: instagram @new.dandelionbantargebang

Bukan hanya tas, topi, dompet atau sesuatu yang bernilai ekonomi lebih, Komunitas Dandelion juga mengubah sampah plastik menjadi media pembelajaran anak-anak. Ya, rutin setiap hari Minggu, Komunitas Dandelion selalu memberikan pengajaran kepada anak-anak pemulung di Bantar Gebang.

Apa yang mereka ajarkan pun bermacam-macam, mulai dari menggambar, mendongeng, menulis, berhitung, bercerita, sampai percobaan ilmiah. Dan media yang mereka gunakan rata-rata adalah sampah plastik.

Seperti saat saya melakukan kunjungan ke sana kala itu, saya takjub melihat betapa antusiasnya anak-anak pemulung belajar hal baru dari bahan-bahan yang selama ini teronggok di rumah mereka.

sumber: instagram @new.dandelionbantargebang
sumber: instagram @new.dandelionbantargebang

Kala itu anak-anak di sana diajarkan melukis botol plastik bekas dengan cat warna. Mereka semua tampak serius melakukannya. Ada yang melukis buah strawberry, mangga, boneka, sampai melukis inisial nama mereka dengan warna kesukaan. Aku begitu bahagia melihatnya, lewat Komunitas Dandelion, anak-anak pemulung di Bantar Gebang ini dapat merasakan sesuatu yang lain, yang tentunya tidak mereka dapatkan sebelumnya.

Kini, aku makin sadar betapa plastik, jika kita mampu mengolahnya dengan bijak maka akan memiliki nilai lebih. Terimakasih Danone-AQUA dan Komunitas Dandelion Bantar Gebang karena telah mengajarkanku banyak hal tentang lingkungan, pengelolaan plastik, juga kepedulian terhadap sesama. Semoga, kedepannya terus bertumbuh Komunitas Dandelion lainnya yang mampu berkontribusi besar untuk lingkungan.

Referensi:
Bijakberplastik.aqua.co.id. #BijakBerplastik. Diakses 2 Oktober 2019.
Sains.kompas.com. Penemuan yang Mengubah Dunia: Plastik Si Serba Guna tapi Berbahaya. Diakses 5 Oktober 2019.
Dbs.com. Suram Ini 4 Fakta Sampah Plastik di Laut. Diakses pada 10 Oktober 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun