Mohon tunggu...
Novita Meilina Anggraini
Novita Meilina Anggraini Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis Dengan Riang

Saya belajar menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Pahit Getir Jadi Siswa Ranking 1 yang Ngga Selalu Asik

31 Desember 2022   20:37 Diperbarui: 31 Desember 2022   21:43 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Obrolan ini memakan waktu yang lumayan lama. Saya dan kedua teman saya ini berbagi pendapat dan perasaan kita dalam situasi yang berbeda dan dengan topik dan pertanyaan yang sama yaitu "kenapa" dan kemudian dibalas dengan kata "padahal".

Iya, banyak sekali yang dibahas dan fakta yang kita tuangkan tentang kehidupan anak sekolah. Hal ini baru bisa kita bahas saat kita sudah melampui fase ini. Anggap saja ini kesimpulan atas observasi dan penelitian yang kita lakukan.

Dari hasil obrolan ini, saya menyimpulkan jika menjadi juara kelas ga selamanya asik. Memang, untuk beberapa momen asik seperti selalu mendapat kelompok tanpa harus cari sana sini, dikenal guru, teman di kelas lain hingga 3 angkatan dan juga dikenal baik oleh kepala sekolah.

Tapi, beberapa momen juga menjadi juara kelas bisa jadi boomerang. Misalnya, saat ada ujian dan PR si juara kelas dituntut buat ikhlas berbagi jawaban dengan teman lain, dan juga sering jadi sasaran guru untuk memecahkan soal dipapan tulis. Jika tidak bisa? Siap- siap aja bakal jadi bahan omongan dan perbandingan dengan orang lain. Hal seperti ini sudah jadi hal yang biasa dan tetap terasa menyakitkan bagi kedua teman saya.

Si M ini selalu jadi sasaran empuk guru saat seluruh siswa di kelas kami tidak bisa menjawab pertanyaan di kelas. dengan kalimat sederhananya, yang kurang lebih begini
"mosok rangking siji raiso garap soal ngeneki, opo meneh sing rangking ngisore? Kalah mbi kelas liyo loh cah kalian ki."

Iya, menjadi juara kelas, sama saja menjadi face of class. Mau ga mau, jika si juara ga bisa menaklukan soal, maka ya sama artinya akan dapat petuah untuk dirinya dan teman- teman sekelas.

Hal perbandingan seperti ini juga dirasakan N. Saya tidak tahu bagaimana kalimat yang dilontarkan guru kepadanya. Tapi perasaan tidak terima saat membahas tuntunan menjadi face of class juga dia rasakan. Menurutnya, menjadi bintang kelas bukan berarti tahu semua hal dengan baik. Dia bukannya tidak berusaha, tetapi manusia punya kapasitas dan butuh waktu untuk memahami suatu hal bukan? 

Ya, begitulah kurang lebihnya, ga semua hal harus serba sat-set-sat-set.
N dan M, adalah dua bukti nyata jika berada dipuncak dalam hal kecerdasan memang tak seindah bayangan. Keduanya juga pernah merasa lelah dengan tuntutan guru yang mengharuskannya untuk selalu bisa. 

Mereka juga lelah untuk selalu ikhlas memberi jawaban kepada teman- teman yang selalu meminta kerendahan hatinya untuk berbagi ilmu (jawaban). terlebih lagi jika temannya ini, meminta dengan nada yang tinggi, bagaimana bisa dia ikhlas membagi jika yang dibagikan layaknya preman yang memalak dan mengancam dengan konyol. 

Tapi iya begitulah kehidupan masa sekolah. Metode pemeringkatan masih menjadi acuan untuk melihat murid yang pintar hingga yang tidak pintar. Jika tujuan sekolah adalah sarana mencerdaskan bangsa, dan pada gaumannya siswa pergi sekolah untuk menutut ilmu. Lalu, bagaimana dengan metode pemeringkatan ini? Apakah narasi menuntut ilmu berganti arah menjadi siswa yang dituntut berperingkat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun