Mohon tunggu...
Novita Meilina Anggraini
Novita Meilina Anggraini Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis Dengan Riang

Saya belajar menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Alam Ikut Mengamalkan Sila Kelima dalam Pancasila di Planet Bekasi

29 November 2022   10:56 Diperbarui: 29 November 2022   11:04 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjalani kehidupan di Kota metropolitan jadi hal baru yang membuat saya kembali berada di angka 0 se nol nya angka di SPBU sesaat setelah mendengar kalimat template "Dimulai dari 0 ya kak"  dari petugas SPBU. Kota ini adalah salah satu Kota yang dijuluki dengan sebutan gaul "Planet Bekasi". 

Sekian bulan sudah saya mencari nafkah di Kota yang sering dijadikan kandang dari Macan Kemayoran Persija Jakarta. Keseharian selayaknya seorang pekerja yang hanya berangkat-pulang dan terus berulang membuat saya tidak bisa banyak mengeksplor daerah yang jadi pijakan baru saya memulai debut profesional. Selain karena mager dan capek, alasan utamanya yaaa karena saya masih harus ngirut di tanah perantauan heheee....

Oke, karena aktvitas harian saya yang monoton dan akibatnya saya jadi nuub membuat saya terkejut atau istilahnya cultur shock. Kejadian ini membuat saya terenyuh betapa alam "Planet Bekasi" sangat Indonesia-able. Gimana tidak, di Kota Bekasi ini penerapan sila kelima dalam pancasila yang berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" tidak hanya berlaku untuk masyarakat saja. Bahkan alam pun ikut mengamalkan sila kelima ini.

Benar saja, Alam pun sangat adil dengan sesama dengan menyuguhkan puaaaanas yang merata tanpa celah. Sungguh mengharukan bukan (?). Kronologinya seperti ini

"Beberapa hari yang lalu keadaan mengharuskan saya melakukan perjalanan yang terbilang jauh dengan jarak berkisar antara kuran lebih 35km dari lokasi kerja saya. Ditengah terik mtahari pagi, motor saya mulai melaju dengan kecepatan seadanya berpedoman keyakinan dan google maps bahwa saya akan sampai di alamat tujuan dengan baik dan tanpa nyasar. Benar saja, saya sampai tujuan dan tidak nyasar, hanya saja Tuhan menggerakkan diri saya untuk memberikan rejeki kepada makhlukNya dengan perantara saya yang mengalami ban bocor. 

Dengan perasaan menggerutu, pelan- pelan saya dorong kuda besi saya yang tertancap besi asing dengan tidak pasti dan penuh percaya diri bertanya pada bapak-bapak yang lewat dengan kalimat "Pak, ban saya bocor, Bapak tahu tempat tambal ban terdekat?". Beliau dengan lantang menyebutkan sambil menunjuk tikungan yang menjadi tempat sang penyelamat baik saya saat itu (tukang tambal ban). Syukurlah, ga jauh. Dengan semangat membara sepanas bara api panas Planet ini, doronganku makin mantab tertuju ketempat tambal ban "

Balik lagi ke opini yang didapat dari kerjadian tersebut. Lagi-lagi saya akan mengungkit background saya sebagai seorang pendatang baru. Di Kota tempat saya sebelumnya yaitu Semarang yang juga terkenal dengan panasnya masih tidak ada apa-apanya dengan Kota Planet ini. Semarang memang panas, tapi panasnya Semarang bagai gradasi warna yang memudar dengan intensitas panas yang berbeda di beberapa wilayahnya. 

Tapi, sepertinya hal ini tidak berlaku di Kota Bekasi. Mungkin karena geografisnya yang berbeda dengan Semarang, atau Kepadatan penduduknya yang juga berbeda ditambah kehadiran saya sebagai perantau yang menambah beban bagi kota Planet ini. Iya, rasanya Bekasi memang diciptakan dengan penuh senyuman mrigis nan miris ditengah penetapan UMR nya yang tinggi dibanding kota lain bahkan Jakarta yang jadi pusat Tatanan kenegaraan dan sentra bisnis di Indonesia.

Panasnya yang tak tertandingi ini membuat saya berpikir lagi dan mewajarkan jika para pengendara mudah tersulut emosi diperjalanan. Sikap bar-bar yang membuat saya sebagai pendatang sedikit ngah-ngoh melihat kehidupan Kota Metropolitan yang sesungguhnya. Semua orang beralu lalang dengan kesibukan dan kehidupannya masing- masing. Raut muka panas, lelah dengan diperindah dengan cahaya mentari yang sedikit overload menemani perjalanan saya dan pengendara lain diaspal hitam sang Kota yang memiliki julukan resmi Kota Patriot ini. Jalanan jadi saksi dan teman bisu bagi banyak manusia yang bertirakat untuk mengais nafkah, sekolah, atau sekedar healing menikmati hirup pikuk Kota dengan pesona mentari terik ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun