Review Film
"Aku menyesal menjadi perempuan" kata Jo March (Saoirse Ronan) ke Laurie (Timothe Chalamet) saat keduanya bertemu untuk pertama kali di sebuah pesta dansa. Sebuah pernyataan yang bisa langsung ditangkap pesannya, Jo March seorang feminis.
Diadaptasi dari novel tahun 1868 karya Louisa May Alcott, Little Women karya sutradara dan penulis naskah Greta Gerwig resmi dirilis di hari natal tahun 2019 lalu di Amerika Serikat. Sebenarnya, novel Little Women sudah banyak diadaptasi ke banyak karya seni lain mulai dari mini seri, animasi, dan film.
Setelah sukses dengan film Lady Bird di tahun 2017 lalu, Greta ternyata berani menunjukkan seberapa bagus dan berkualitas dirinya dalam mengeksekusi Little Women kali ini. Saiorse Ronan dan Timothe Chalamet yang pernah dipasangkan di film Lady Bird juga kembali beradu peran di Little Women
Bercerita soal 4 orang saudara perempuan yang hidup dengan sederhana dengan Ibu. Jo March (Saoirse Ronan), Meg March (Emma Watson), Amy March (Florence Pugh), dan Beth March (Eliza Scanlen) jadi saudara kandung yang saling mengasihi dan hidup dalam kehangatan di rumah sederhana. Ibunya seorang dermawan yang senang berbagi makanan ke orang tidak mampu di dekat rumahnya, sedangkan sang Ayah menjadi seorang tentara.
Sosok Jo bisa dibilang jadi pusat film ini. Dari awal film penonton sudah diajak mengarungi kisah hidup Jo. Perjuangannya untuk menjadi seorang penulis novel, berhadapan dengan Dashwood (Tracy Letts) yang merupakan seorang publisis dari kota New York. Jo hanya mendapatkan 20 dollar untuk naskah yang ia kirimkan.
Semangat Jo memang membara untuk menulis. Di antara ketiga saudara perempuan lainnya, Jo memang cukup berbeda. Dirinya penuh kebebasan, menulis mungkin jadi salah satu alasan mengapa Jo hidup, ia mengatur hidupnya sendiri, dan hal itu yang membuat Little Women garapan Greta sangat kental dengan gejolak feminisme atau women empowerment.Â
Tapi Jo tidak sendirian, Greta secara adil membagi Little Women garapannya untuk menceritakan setiap kisah hidup keempat saudara. Amy jadi sosok yang tidak berbeda jauh dari Jo, tidak ingin diatur bahkan sangat berani. Meg jadi sosok manis yang berjiwa keibuan di antara yang lainnya. Sedangkan Beth jadi perempuan kalem yang punya cita-cita jadi pemain piano.
Alur cerita maju-mundur yang diambil menjadi sentuhan baru yang menyegarkan penonton. Penonton dibawa ke sebuah narasi dimana cita-cita dari keempat saudara perempuan ternyata tidak berjalan dengan baik ketika lingkungan saat itu masih patriarkis apalagi ditambah kondisi miskin kehidupan mereka.
Pesan-pesan yang ada di film Little Women hadir dengan sangat tepat, tidak frontal tapi bisa dituturkan dengan sangat baik lewat candaan, dan optimisme. Masalah-masalah yang sangat berkaitan dengan kehidupan orang-orang biasa pada umumnya hadir dengan eksekusi yang tepat.
Cerita tidak hanya berputar di keempat saudara tersebut, sosok Laurie (Timothe Chalamet) yang merupakan cucu dari orang kaya keturunan Italia turut mengisi cerita Little Women. Laurie digambarkan jadi seorang teman yang sangat baik, tapi tidak ada hubungan pertemanan yang murni di antara laki-laki dan perempuan. Laurie jatuh cinta kepada Jo.
Terdengar klise, tapi tunggu sampai 30 menit sebelum film berakhir. Plot twist yang ada bahkan tidak akan terbayangkan oleh penonton. Sosok Jo yang penuh ambisi dan kebebasan diri hampir saja berakhir dengan akhir cerita yang sad ending.Â
Dengan perkiraan anggaran 40 juta dollar, film Little Women bisa dikatakan sudah sukses besar. Situs IMDb bahkan memberikan rating 8.2/10 untuk karya Greta kali ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H