Tulisan ini dimulai kala mendapati fakta yang dikemukakan oleh Pitoyo Amrih pada buku Memburu Kurawa. Bahwa tidak semua Kurawa simbol dari angkara murka. Bahkan ada diantara mereka yang justru memilih untuk undur diri dari tegal Baratayudha. Dimana selama ini banyak yang beranggapan bahwa Kurawa adalah simbol dari segala bentuk kejahatan pada dunia wayang.
Pandangan tersebut sepertinya memang secara umum terjadi. Dengan tidak menampilkan sama sekali sisi positif dari para Kurawa yang memilih jalan kebaikan. Bahkan disebutkan mati dalam kedamaian di akhir hayatnya. Tidak sama dengan para Kurawa yang musnah kala Baratayudha usai. Inilah mengapa fakta unik tersebut dapat tersaji dalam tulisan ini.
Pertama adalah tokoh Dursilawati, yang diketahui sebagai satu-satunya perempuan dari seratus Kurawa. Pitoyo Amrih menjelaskan kisah Dursilawati yang mati dengan tenang, usai prahara Baratayudha. Apalagi dengan statusnya sebagai Kurawa yang diburu oleh para Pandawa. Dimana ada beberapa Kurawa yang diketahui masih hidup usai perang besar itu terjadi.
Disinilah bagaimana Dursilawati justru berlaku tidak selayaknya angkara murka para Kurawa. Ia dikenal sebagai seorang perempuan yang bersahaja di kampungnya Sindu Banakeling. Tanpa mengajarkan sifat dendam kepada anak-anaknya. Apalagi usai pertikaian antara Jayadrata dengan Abimanyu, yang membuat anak Arjuna tersebut gugur dalam perang tanding.
Arjuna yang kalap lantas menghabisi Jayadrata, dimana kala itu statusnya adalah suami dari Dursilawati. Lagi-lagi, tidak ada satupun upaya untuk membalas kematian suaminya, dan Dursilawati lebih memilih untuk jadi seorang juru damai. Demi persahabatan Sindu Banakeling dengan Hastinapura di kemudian hari.
Selain Dursilawati, Pitoyo Amrih juga menjelaskan bagaimana kisah lain dari Yuyutsu. Seorang tokoh yang lahir sebagai kerabat Kurawa, namun memiliki sikap dan perangai yang berbeda. Yakni kebiasaan bertapa dan menjauhi segala angkara murka dunia.
Yuyutsu juga dibilang sangat santun dalam bertutur kata. Apalagi ia dikenal sebagai guru silat bagi para penduduk di sebuah desa perbatasan negeri Hastinapura. Bahkan hingga kematiannya, tak seorang pun tahu siapa Yuyutsu sebenarnya. Walau memang ia telah dianggap tewas pada perang Baratayudha.Â
Namun hanya gelang emasnya saja, tanpa jasad. Karena ia lebih memilih undur diri dari medan pertempuran yang dianggapnya tidak layak terjadi. Bahkan para Pandawa pun menganggapnya telah sirna dari amuk pancanaka Werkudara alias Bima. Tapi memang perang tidak dapat diterka, semua memiliki jalan hidupnya masing-masing. Tak luput sebagai bagian dari angkara atau kebajikan.
Inilah kiranya dua tokoh Kurawa selain Durmuka dan Drestakesti yang juga diketahui mati pada usia tua. Mereka tidak diketahui mati dalam tegal Kurusetra, karena lebih memilih untuk menghindar dari amuk para Pandawa.
Bahkan ada beberapa versi yang menjelaskan mengenai sosok Dursilawati, yang diangkat oleh Prabu Parikesit sebagai penasihat istana kala ia memimpin negara Hastinapura pasca Pandawa mangkat. Unik dan penuh misteri memang, bila mengkisahkannya sesuai alur Baratayudha yang penuh intrik dan konflik.
Inilah yang dapat dijadikan refleksi bagi kita semua. Ada banyak hikmah yang tersaji pada kisah pewayangan hasil budaya menurut versi Indonesia. Walau sedikit berbeda dengan kisah asli yang berasal dari India. Tampak kiranya pesan-pesan moral yang tersampaikan menjadi fakta hidup kita saat ini. Dengan tidak mengurangi esensi atas cipta karya yang identik dengan budaya Nusantara.
Semoga kisah ini dapat terus lestari seiring perkembangan zaman yang serba modern. Wayang jangan sampai dianggap kuno, atau ketinggalan zaman. Khususnya bagi generasi muda saat ini. Agar warisan budaya Indonesia dapat terus terjaga hingga kapanpun juga. Salam damai, dan terima kasih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI