Siapa sangka, seorang Gubernur Jenderal Belanda ini adalah seorang partisan Belanda yang diutus oleh Napoleon (Kaisar Perancis) untuk memerintah di Batavia. Kala itu memang Belanda telah kalah perang dengan Perancis, sedangkan Deandels dikenal sebagai seorang militer yang menerima amanat dari Raja Louis Bonaparte untuk memperbaiki Pemerintah Hindia Belanda.
Adik dari Napoleon Bonaparte ini diangkat menjadi Raja Belanda usai penaklukan Belanda oleh Perancis pada tahun 1795. Pemerintahan boneka yang dibentuk Perancis langsung berorientasi kepada wilayah jajahan Belanda. Khususnya di Hindia Belanda, yang menjadi sentra perdagangan dunia. Dalam hal ini Perancis memang mengincar sumber daya alam dengan coba menghalangi serangan Inggris di wilayah jajahan Belanda.
Deandels pun datang ke Batavia pada 5 Januari 1808. Ia lantas menggantikan Gubernur Jenderal Belanda yang bernama Albertus Wiese, karena dianggap telah membuat Hindia Belanda tidak produktif. Khususnya pasca hancurnya VOC dengan berbagai tindak korupsi di segala bidang.
Karakteristik Deandels, yang memang bertangan dingin dan militeristik, tidak sanggup ditentang oleh para pejabat Hindia Belanda. Apalagi ada mandat pula dari Napoleon, sebagai penguasa atas negara boneka Belanda. Walau banyak pertentangan, tetapi tidak sampai menimbulkan perang besar yang bermuara pada kehadiran pasukan Perancis di Hindia Belanda.
Selain itu, sifat instruksionis Deandels akhirnya diuji kala ia mencoba membuat kebijakan revolusioner di Hindia Belanda. Yakni dengan membuat Jalan Raya Pos dari Anyer (Banten) hingga Panarukan (Jawa Timur). Sebagai seorang militer sejati, Deandels pun menerapkan sistem pemerintahan militeristik. Artinya segala bentuk perlawanan (kecil atau besar) harus diselesaikan melalui jalan perang.
Inilah yang membuatnya dianggap sebagai seorang tokoh yang kejam dan beringas. Namun, reformasi dalam sistem peradilan dan administrasi Belanda dapat diselesaikan olehnya. Fenomenalnya adalah, penerapan sistem peradilan yang berbeda bagi warga asing dengan penduduk pribumi. Jadi, hukuman tidak disamakan, atas dasar kepentingan adat istiadat setempat.
Sebuah kebijakan yang kala itu membuat kacau sistem peradilan Belanda. Walau dibilang sangat menguntungkan bagi warga pribumi, karena hukum adat dapat dipakai menjadi keputusan hukum yang mengikat. Melalui pengajuan hukum yang masih dapat ditimbang untuk diterima atau tidak oleh masyarakat adat.
Kecerdikannya menghalau pasukan Inggris yang ada di Laut Jawa (blokade), menjadikan dirinya sebagai tokoh militer yang disegani. Jalan Raya Pos, selain sebagai penghubung komunikasi antar daerah, juga dipersiapkan untuk distribusi logistik ataupun jalur akses militer. Walau harus membelah pegunungan yang ada di wilayah Jawa Barat dengan menggunakan misiu.
Catatan yang didapat dari Tim Ekspedisi Kompas Anjer-Panaroekan, tahun 2008, menjelaskan rincian upah bagi para pekerjanya. Jadi inilah hal yang luar biasa, karena para pekerja Jalan Raya Pos diberi upah sesuai dengan porsi kerja dan medan yang dilaluinya. Seperti upah pekerja dari Cisarua menuju Cianjur, yang memiliki besaran paling tinggi, yakni 10 ringgit perak/bulan.
Daerah Cisarua menuju Cianjur adalah area yang sulit dilalui, berbekal alat seadanya dan misiu, para pekerja meledakkan setiap sisi pegunungan yang dianggap menghalangi akses jalan yang hendak dibuatnya. Bahkan para pekerja yang melanjutkan proyek hingga ke Sumedang, mendapatkan jatah 1.5 pon beras setiap hari, dan 5 pon garam setiap bulannya.
Terlebih ketika membuat jembatan dari jalur Cianjur menuju Bandung, serta pembelahan gunung di Parakan Muncang hingga ke Sumedang. Para pekerja mendapatkan tambahan sekitar 2 ringgit perak, beserta 3 gantang beras setiap bulannya. Suatu hal yang tidak didapatkan ketika VOC-Belanda berkuasa. Apalagi dengan aturan kerja paksa, yang kerap disalahgunakan oleh pejabat lokal.
Belum lagi ketika memasuki area Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang rata-rata memiliki medan terbuka secara geografis. Tentu dengan upah yang juga disesuaikan menurut kebijakan daerahnya masing-masing. Yup, kala Deandels memimpin memang, Jawa dibagi menjadi 9 hingga 23 daerah administrasi. Dimana masing-masing daerah memiliki pemimpinnya sendiri (bupati).
Selain itu kebijakan lain yang sangat berguna untuk masyarakat diantaranya ada pembangunan rumah sakit pada setiap daerah administrasi. Beserta pabrik senjata pribumi, bersama barak-barak militer yang saling terhubung satu dengan lainnya. Inilah salah satu latar belakang dimulainya pemahaman terhadap aspek militer bagi bangsa Indonesia dimasa selanjutnya.
Tahap demi tahap, walau kemudian kembali ke tangan Belanda. Sedianya Jalan Raya Pos yang dibangun sejak tahun 1809 menjadi latar belakang dimulainya era industrialisasi modern, khususnya kala pembangunan moda kereta api, pada tahun 1867. Namun, tidak semua kebijakan Deandels dapat dikatakan baik, khususnya dalam soal kepemilikan wewenang sebagai pemimpin.
Diantaranya adalah sistem pertanahan milik pemerintah, yang dijual secara sepihak kepada orang asing. Dengan hasil yang tentunya untuk memperkaya diri sendiri. Selain itu, praktik korupsi juga disebut-sebut terjadi di berbagai daerah, seiring pembukaan Jalan Raya Pos, dengan metode upah tersebut.
Akhirnya pada tahun 1811, Louis Bonaparte memanggilnya untuk kembali ke Belanda. Karena dianggap tidak kompeten dalam mengurus negara dengan orientasi kolonialisme. Dengan mengirimkan Willem Jensens sebagai penggantinya di Batavia. Hingga ia meninggal karena malaria pada tahun 1818 dengan jabatan petinggi militer Belanda.
Namun, sekilas tentu kita dapat menilai, bagaimana pengaruh kebijakan Deandels pada masa selanjutnya. Walau banyak kekurangan pada kepemimpinannya yang militeristik, kontribusi pentingnya dalam membuka akses transportasi di Jawa adalah kemajuan dalam bidang ekonomi dan politik di kemudian hari.
Demikian kisah sejarah Indonesia ini dapat dibagi. Salam damai, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H