Mohon tunggu...
Bahas Sejarah
Bahas Sejarah Mohon Tunggu... Guru - Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Sejarah Bangsanya Sendiri

Berbagi kisah sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Telusur Sejarah Kebudayaan Islam di Banten

15 Mei 2023   06:00 Diperbarui: 15 Mei 2023   06:20 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu ornamen di Museum Kepurbakalaan Banten (sumber: dokpri)

Sejarah Banten tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kebudayaan Islam di Jawa. Kesultanan Banten yang berdiri pada abad 15, diketahui memiliki hubungan dengan Kesultanan Demak di Jawa Tengah. Termasuk Kesultanan Cirebon, yang disebut-sebut memiliki pengaruh kuat pada awal pendirian Kesultanan Banten.

Sejak berkembangnya agama Islam di pesisir utara Jawa, Kesultanan Demak dengan segera mengembangkan pengaruhnya di seluruh Jawa, tak terkecuali wilayah Banten. Kala itu Banten masih menjadi wilayah Kerajaan Pajajaran. Dikarenakan lokasinya yang strategis, pelabuhan Banten memang telah dipergunakan sebagai bagian dari perdagangan internasional sejak dahulu kala.

Terlebih ketika Pajajaran menjalin kerjasama dengan Portugis, guna membendung pengaruh Demak dan Cirebon. Namun, belum sempat kerjasama dilakukan, ternyata Sunda Kelapa sudah jatuh ke tangan pasukan Fatahillah. Kala itu Fatahillah menggunakan pasukan gabungan dari dua kesultanan, yakni Demak dan Cirebon.

Serbuan pasukan Sunan Gunung Jati ke wilayah Bantenlah yang kemudian daerah pelabuhan ini dapat pula dikuasai oleh pasukan Islam. Antara tahun 1525 hingga 1527, dilakukanlah dakwah Islam dengan mengurangi pengaruh Pajajaran serta Portugis yang sempat menanamkan budayanya di pesisir Banten.

Hingga tahun 1527, Kesultanan Banten pun dapat didirikan serta menjadi bagian dari Kesultanan Cirebon dan Demak. Maka praktis, seluruh wilayah pesisir utara pulau Jawa, telah dikuasai oleh kesultanan Islam. Termasuk Sunda Kelapa, yang kala itu tengah menjadi incaran bangsa asing, termasuk Belanda.

Seusai Sunan Gunung Jati memilih kembali ke Demak, maka kepemimpinan di wilayah Banten pun diserahkan kepada anaknnya, yang bernama Sultan Maulana Hasanuddin. Fokus utamanya masih dalam pembangunan kesultanan Banten, memperbaharui sistem kepemimpinan dan ekonomi, yang berlandaskan Islam. Hingga Banten dapat diakui sebagai kesultanan Islam yang besar.

Kesultanan Banten diketahui mencapai masa kejayaannya ketika dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Selain karena sikap beraninya menentang ekspedisi-ekspedisi asing, beliau juga berani menentang pengaruh monopoli Belanda. Tidak mengherankan, jika pada masa kepemimpinannya, Banten mampu menguasai seluruh area perdagangan di Selat Sunda, termasuk pesisir selatan Lampung.

Kebangkitan perekonomian Kesultanan Banten juga dipengaruhi dengan kebijakan anti monopoli perdagangan. Jadi, para pedagang yang datang ke pelabuhan, dapat berdagang dengan bebas. Uniknya, tidak pula ada pembatasan pengaruh agama asing, bagi setiap pedagang yang membawa ajaran kepercayaannya. Seperti Kong Hu Chu, yang pernah membangun klenteng pada tahun 1673.

Namun, ada aturan yang mengikat dari para pedagang ataupun ekspedisi asing disana. Aturan ini wajib ditaati oleh semua pelaku ekonomi tanpa terkecuali, seperti peraturan tentang stabilitas harga jual beli. Tentunya hal ini dimaksudkan agar daya tukar antar pelaku ekonomi tidak timpang, dan saling termonopoli dengan besarannya masing-masing.

Inilah yang kiranya menjadi area dakwah Islam dalam urusan perdagangan. Selain itu pendirian Masjid Agung Banten, pun tak luput dari masa kejayaan Kesultanan Islam di wilayah ini. Banyak peninggalan lainnya, seperti Keraton Surosuan, yang kini menyisakan puing bangunan yang terkompleks pada suatu area di sekitar pelabuhan Banten.

Maka wajar, jika di kemudian hari, para pedangan asing sangat menginginkan wilayah Banten untuk dikuasai. Diantaranya adalah Portugis, Spanyol, Inggirs, dan Belanda. Negara-negara asing tersebut saling berebut menjalin kerjasama perdagangan, dengan tujuan lainnya, seperti kolonialisme dan imperialisme. Terlebih, kala itu Banten berhasil melampaui Malaka dalam perekonomian.

Malaka dianggap sebagai daerah yang rawan dalam jalur perdagangan, maka jalur selatan dari Aceh pun secara langsung terbuka. Melalui rute Samudera Hindia, dengan menyusuri wilayah bagian barat Sumatera. Maka wajar, jika wilayah barat Sumatera akhirnya tumbuh banyak pelabuhan-pelabuhan dagang, yang terhubung dengan Banten.

Namun, pada masa kepemimpinan Sultan Haji, Kesultanan Banten justru mengalami kemunduran. Tepatnya kala Sultan Haji justru memilih melakukan kerjasama dengan Belanda. Perdagangan lada yang menjadi sumber utama ekonomi internasional, disebut-sebut sebagai biang keladinya. Belanda tidak mau harga lada jatuh karena kebijakan ekonomi Kesultanan Banten.

Melalui pendekatan terhadap Sultan Haji, akhirnya Belanda berhasil menguasai wilayah Sunda Kelapa pada tahun 1619. Pelabuhan ini lantas diubah menjadi benteng oleh Belanda, dengan nama Batavia. Tepatnya pada kepemimpinan J.P. Coen, dengan memusatkan seluruh kekuatan tempur Belanda untuk memerangi dan menguasai daerah sekitarnya. Termasuk Banten dan Cirebon sebagai target pertamanya.

Sultan Haji telah melakukan blunder bagi keberlangsungan Kesultanan Banten. Hingga membuat kesultanan terpecah belah menjadi dua faksi. Pertama adalah para pendukung Sultan Ageng Tirtayasa, kedua adalah para pendukung Sultan Haji. Maka perang saudara pun tak dapat dihindarkan. Inilah siasat licik Belanda dalam hal adu domba.

Sebagai informasi, Sultan Haji ini merupakan anak dari Sultan Ageng Tirtayasa. Dimana kemudia ia bekerjasama dengan Belanda untuk mematahkan perlawanan dari ayahnya. Nah, muncullah syarat-syarat yang tidak masuk akal dari Belanda. Walau sudah diberi daerah Sunda Kelapa oleh Sultan Haji, Belanda tetap mengajukan syarat jika diminta bantuan olehnya.

Perjanjian yang dimaksud adalah, syarat pengangkatan Sultan Banten harus seizin Belanda. Serta wilayah Lampung harus diserahkan kepada penguasa teritorial Belanda. Inilah yang menjadikan Kesultanan Banten secara teritorial terkepung dari dua sisi. Wilayah barat (Lampung) telah dikuasai pasukan Belanda, sedangkan di timur (Sunda Kelapa) sudah dijadikan benteng dengan status siap tempur.

Nah, kalau sudah seperti ini tinggal menyesal kemudian bukan? Itulah yang dialami oleh Sultan Haji, sebagai penguasa absolut terakhir dari Kesultanan Banten. Setelahnya, hanyalah pemimpin boneka yang dipilih oleh Belanda, agar dapat melanggengkan kekuasaannya di wilayah barat pulau Jawa.

Menariknya, kebudayaan Islam yang telah berkembang di wilayah Banten, justru tidak terpengaruh dengan hadirnya budaya ataupun agama asing. Hal ini memang telah menjadi tolak ukur utama, kala Sunan Gunung Jati memilih untuk meninggalkan Banten. Islam telah kokoh pada segenap masyarakat Banten, walau disertai persoalan politik dikemudian hari.

Menurut Babad Banten, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Sunan Gunung Jati berhasil memadukan kepercayaan masyarakat lokal dengan pendekatan Islam. Namun, secara garis besar, semua harus bermuara atas hukum Islam, seperti penetapan Kadi, sebagai seorang hakim yang membuat keputusan berdasarkan syariat Islam.

Selain itu ada budaya debus, yang tidak dapat terpisahkan sejak masa Pajajaran berkuasa. Sejatinya debus kemudian menjadi kesenian yang memiliki ikatan dengan ajaran Islam. Dengan meninggalkan pengaruh animisme dan dinamisme, dengan ajaran yang sesuai dengan syariat Islam.

Maka dapat disimpulkan bahwa, perkembangan kebudayaan Islam di Banten memiliki ikatan kuat dengan kahadiran Wali Songo di Jawa. Catatan sejarah menegaskan kedudukannya secara kuat dalam berbagai peristiwa di masa lalu. Jadi, jika saat ini banyak narasi yang menjelaskan bahwa Wali Songo adalah kisah karangan, tentu dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan yang ada saat ini.

Eksistensi Kesultanan Banten pada akhirnya dihapuskan ketika Inggris berkuasa di Batavia pada tahun 1813. Melalui Sir Thomas Stanford Raffles, selaku penguasa Inggris di Hindia Belanda, secara resmi mengakhiri pemerintahan Sultan Muhammad Muhyiddin Zainusallihin, sebagai penguasa terakhirnya. Namun tidak dengan kebudayaan dan agama Islam yang telah melekat di masyarakat Banten pada umumnya.

Sekian kisah mengenai perkembangan kebudayaan Islam di Banten dapat disajikan. Semoga bermanfaat dan terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun